Vote and komen.
Malam ini terasa berbeda, angin malam yang dingin dengan rintik gerimis menyertai. Gadis dengan surai hitam itu memandang ke atas, menatap bintang yang bertaburan menambah kesan cantik langit malam. Gadis itu sama sekali tidak berniat beranjak dari posisinya saat ini, meskipun sedang gerimis gadis itu tetap berdiam di balkon kamarnya dengan anteng.
“Azia!” Dari arah pintu terdengar teriakan laki-laki. Sudah pasti itu sang ayah yang sedang marah karena bertengkar dengan ibunya, bagi Azia hal ini sudah biasa. ibunya yang sering pulang malam dengan baju minim dan ayahnya yang pulang malam karena sibuk bekerja.
“Azia, papa sudah muak dengan kelakuan ibu kamu!, umur kamu sudah 17 tahun jadi sekarang kamu bebas memilih. Kamu pilih papa atau mama?!” Pertanyaan itu datang bersamaan dengan suara pintu yang dibuka dengan keras.
“Azia mau tinggal sendiri,” dengan santai Azia berbalik lalu menutup pintu balkon kamarnya karena hujan sudah mulai mengguyur. Gadis itu lalu duduk di sofa yang berada dikamarnya, hal seperti ini sudah biasa jadi tidak perlu ada tangisan sakit hati anak toh, orangtuanya tidak memperdulikan perasaannya.
“Itu bukan jawaban yang papa minta Zia, Papa Tanya kamu milih ikut mama atau papa?” Edgar kembali bertanya, ingin memastikan jawaban yang sebenarnya.
“Buat apa Zia memilih, pa?” Azia berdiri kemudian mengambil foto keluarganya, mengusap foto itu pelan. Foto ini diambil saat Azia masih SD, dulu hidup mereka begitu harmonis dan bahagia, tetapi semenjak mamanya melakukan reuni dengan teman SMA-nya semuanya berubah. “Apa bedanya Zia milih mama, sama Zia milih papa?, akhirnya bakalan sama pa, kalian terlalu sibuk dengan kehidupan kalian masing-masing, bahkan hanya untuk sarapan bareng Zia kalian gak bisa.”
“Jangan manja Zia, papa pulang malam untuk menyekolahkan kamu.” Ucap Edgar sedikit emosi.
“Zia bahkan hapal jawaban papa, apa gak ada alasan klasik lainnya pa?”
Dari arah belakang Edgar mulcul sang mama dengan menenteng koper bawaannya. Anggi Putri Hartini, sang mama menatap Zia dengan pandangan yang tak bisa Zia pahami. Ibunya seakan lupa kalau ia memiliki anak secantik Azia.
“Apa kamu sudah menentukan pilihanmu, Zia?” Tak ada pertanyaan mengenai perasaannya. Ibunya hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri.
“Sudah, tinggal sendiri tanpa kalian adalah pilihan yang paling benar.”
“Kami memang memberikan kamu kebebasan untuk memilih karena umur kamu yang sudah remaja, tetapi bukan berarti kamu bisa hidup sendiri Zia. Kamu masih sekolah, belum bekerja, mau makan apa nanti kamu kalau tinggal sendirian.”
“Kalian bukan orang miskin, kalian berdua sama-sama dari keluarga kaya. Kalian bisa giliran ngirimin Zia uang bulanan kan?, lagian untuk apa Zia tinggal bareng kalian tapi sama sekali gak pernah ngerasain kehangatan pelukan orangtua. Kalian udah lama pergi, jangan bersikap seakan kalian selalu ada buat Zia.”Setelah mengatakan itu, dengan keras Azia membanting pintu kamarnya, masuk ke dalam selimut tebal untuk menghangatkan suhu tubuhnya yang mulai kedinginan karena hujan diluar.
Hari yang Azia benci akhirnyaa tiba, hari dimana dia akan memulai segala sesuatu sendiri dengan semanagtnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR AZIA
Teen FictionDear Azia, gadis dengan senyum manis yang selalu ia pamerkan. Gadis biasa yang menarik. Gadis yang selalu mengeluh tentang beratnya hidup yang harus ia tanggung sendirian, tetapi tetap menjalani hari-hari beratnya dengan tabah. Raka Permana Putra, c...