6. Kesepakatan🌙

62 9 0
                                    

Lepas menjalani serangkaian prosesi pernikahan yang melelahkan, Wulandari bisa kembali ke kamarnya setelah matahari terbenam. Ia sangat lelah. Sudah saatnya mengistirahatkan raganya.

Malam ini juga menjadi malam terakhirnya di Kembang Arum. Besok ia akan diboyong ke Tirta Wungu. Sesampainya di sana, Wulandari akan menjalani prosesi penyambutan menantu yang tak kalah melelahkan. Maka dari itu, Wulandari ingin menghabiskan malam terakhir dengan tidur nyenyak di ranjangnya.

Tetapi... kali ini ia harus berbagi ranjang dengan orang lain berjenis kelamin pria. Seorang pemuda asing yang baru dikenalnya dua minggu lalu dan kini telah berubah status menjadi suaminya berkat pernikahan politik yang menggelikan.

Sejak usia tujuh tahun, Wulandari tidak pernah lagi tidur ditemani ayah ataupun eyangnya. Bagaimana Wulandari sanggup berbagi ranjang dengan seorang pemuda yang tiba-tiba masuk ke hidupnya?

"Semua dekorasi ini terlihat konyol." Wulandari menyapu pandangan ke setiap sudut kamarnya sambil bermonolog.

"Lebih konyol lagi penampilanku hari ini," lanjutnya. Diliriknya sebuah cincin perak yang melingkar di jari manisnya. Sebuah tawa miris tercipta kala Wulandari melihat bayangannya di cermin.

Gaun pengantin ini memang cantik. Pun dengan perhiasan dan riasannya. Namun entah mengapa terlihat tidak menyatu di tubuh Wulandari.

"Sudah cukup sehari saja aku mengenakan semua ini. Semoga besok tidak ada lagi." Wulandari mulai melepaskan perhiasan di tubuhnya. Perhiasan yang begitu banyak membuat kepalanya pening.

Saat Wulandari berusaha melepaskan sanggulnya, pintu kamarnya dibuka.

"Ahh... maaf mengganggumu." Orang itu meminta maaf. Sang pengantin pria juga belum berganti pakaian. Dia tampak gugup saat memasuki kamar ini.

Dengan masuknya Prabaswara ke kamar, apakah sesi malam pertama sudah dimulai?

"Tidak mengapa. Aku tidak bisa mengusirmu. Toh kau juga harus menghabiskan malam pertama di sini." Wulandari mencoba untuk berkata ketus, tapi nada suaranya terdengar bergetar.

"Aku tahu semua ini berat untuk kita. Kita baru dua kali bertemu, belum sempat mengenal lebih dalam, tetapi harus menjalani pernikahan politik ini. Terlebih usia kita yang masih belia, walaupun banyak yang menganggap wajar pernikahan seusia kita."

"Tidak mengapa. Aku akan mencoba menjadi istri yang baik untukmu," ujar Wulandari pelan. Ketara sekali menahan tangis.

"Aku juga akan mencoba menjadi suami yang baik untukmu," balas Prabaswara, tak kalah pelannya.

Hening. Tidak ada yang berminat melanjutkan percakapan. Mereka berdua sama-sama bingung harus bicara apa. Terlebih dengan suasana hati yang tidak baik.

"Bolehkah aku membantumu melepaskan perhiasan? Selama pesta tadi, kulihat kau sangat tidak nyaman dengan semua perhiasan ini." Akhirnya Prabaswara yang berbicara lagi.

"Silakan. Aku tidak bisa melarangmu."

Prabaswara berdiri di belakang Wulandari yang duduk di bangku. Dengan cara ini, Prabaswara mencoba mengakrabkan diri.

"Maaf, aku belum membawakan tiara untukmu."

"Tidak apa-apa."

Sanggul dan perhiasan di rambut Wulandari berhasil dilepas. Menampakkan rambut panjang Wulandari yang terurai indah.

Cantik. Prabaswara tak dapat menahan senyum.

"Jika kau ingin berganti pakaian, aku akan keluar sebentar."

"Baiklah. Aku hanya butuh sekitar lima menit untuk berganti pakaian."

Prabaswara keluar sembari menunggu Wulandari selesai berganti pakaian. Walau sudah resmi menikah, Prabaswara belum berani melihat lekuk tubuh istrinya.

Prabaswara [Complete√] ~ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang