Bab 5

3 3 0
                                    

Aira memesan tiket  pesawat dan mempersiapkan kepulangannya ke Indonesia. Selama di perjalanan ia merasa hatinya tidak tenang karena terus-menerus dipenuhi tanda tanya akan permintaan ibunya. Pasalnya, Aira tak pernah melihat ibunya menangis jika tak ada masalah besar yang membuat hatinya hancur. Rasa takut, cemas, dan khawatir terus menggelayuti hati Aira. Ibunya pun tidak mengabari kembali hingga setibanya Aira di Indonesia. Tak ingin berlama-lama, Aira turun dari pesawat dan segera memesan taksi untuk pulang ke rumahnya.
Hening sepi kekosongan menyambut kedatangan Aira. Tak ada satu pun orang yang menunggunya dengan senyum hangat di depan pintu. Biasanya kedua orang tua Aira selalu menunggu kedatangan Aira saat ia pulang sekolah.
“Assalamualaikum, Bu! Aira pulang,” teriak Aira sembari berjalan mencari keberadaan ibunya di sekeliling ruangan.
“Ibu ... ibu ... ibu dimana?”
Hening, tak ada satu pun orang yang menjawab.
“Ke mana ibu?” Aira bergumam dalam hati.
Aira berjalan pelan menuju taman belakang, ia tersadar bahwa ibunya akan menghabiskan waktu di sana saat tengah di rundung masalah. Langkah Aira terhenti, pandangannya tertuju pada seorang wanita tua yang duduk tersimpuh di bawah pohon, sembari memeluk sebuah bingkai foto. Matanya terlihat sembab, wajahnya menunduk, sorot wajahnya terlihat pucat.
“Ibu!”
Aira berjalan pelan mendekat. Namun sepertinya ibunya tak menyadari kedatangan Aira.
“Ibu!” Aira memanggil untuk kedua kalinya, ibunya masih tak bergumam. Pelan Aira berjalan, lalu duduk di samping. Nampak jelas terlihat, wajah keriput yang dulunya selalu di hiasi dengan senyum hangat kini berubah menjadi redup, pucat bagaikan kehilangan gairah untuk hidup. Tak terlihat lagi sebuah senyum yang dulunya menjadi semangat untuk hidupnya.
“Ibu, Aira pulang.” Aira memeluk ibunya, air mata mengalir deras begitu saja melihat kondisi ibunya yang terlihat sangat hancur, meski ia belum mengetahui apa penyebab senyum wanita yang selalu menjadi pelita dalam hidupnya kini hilang.
“Aira!”
Ibu membalikkan badan, mengusap air mata yang keluar dan memeluk tubuh Aira. Pelukannya tak pernah berubah, selalu menghangatkan dan penuh kelembutan.
“Ibu kenapa?” Apa yang terjadi, Bu?” Aira mencoba bertanya, jemarinya mengusap pelan pipi ibunya, tapi tak ada jawaban. Ibunya justru semakin terisak saat Aira menanyakan keadaan. Aira di buat bingung, ia sama sekali tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya.  Lama Aira terdiam, memberikan waktu agar ibunya kembali tenang.
“Maafkan, Ibu!” Sepatah kaca terucap dari bibirnya. Aira menggelengkan kepala, tanda tak mengerti dengan maksud permintaan maaf ibunya.
Ibu memberikan sebuah surat untuk Aira, di sertai tangis yang semakin pecah. Aira membuka pelan surat tersebut, ia sangat syok dan tak percaya saat membukanya. Sebuah surat perceraian dari Pengadilan  Agama, berisi dua nama orang yang tak asing terlibat di dalamnya.
“Hasan Abdillah, resmi menggugat cerai Aisyah Khasanah Putri.”
Dua orang yang sedari kecil menimangnya, membesarkan dengan penuh pilu dan keringat, nama yang menjadi alasan atas semua perjuangannya, dan menjadi semangat dalam lelahnya, kini telah resmi dinyatakan berpisah oleh Pengadilan Agama. Aira terdiam bagaikan patung,  seluruh tulangnya remuk,  hancur sudah kini seluruh hatinya. Air matanya mengalir deras tanpa bisa di bendung, ia merobek-robek kertas tersebut dan membuangnya hingga tak tersisa utuh sedikit pun. Ketakutan terbesar dalam hidupnya, kini akhirnya terjadi.
“Kenapa, Bu? Ibu tidak sedang berbohong kan, Aira masih lama ulang tahun, Ibu mau ngasih kejutan untuk Aira? Mana ayah, Bu?”
Aira menangis terisak, ia mengguncangkan  tubuh ibunya yang hanya diam tak bergeming, tak sanggup menahan semua perih di dada, ibunya hanya mampu menatap Aira dengan penuh air mata. Mulutnya terasa kaku, tak sanggup untuk sekadar mengucap sepatah kata sedikit pun.
“Bukankah ayah berjanji untuk menjemput Aira ke Turki, ayah juga janji akan segera menyelesaikan pekerjaannya. Kenapa ayah berbohong, Bu?”
Seperti tak percaya dengan kabar buruk yang menimpanya, Aira terisak hingga tubuhnya lemas, bagaimana mungkin ini bisa terjadi di hidupnya. Setahun berlalu, apa yang terjadi pada rumah tangga kedua orang tuanya, ia sama sekali tak mengerti. Selama ini, kedua orang tuanya baik-baik saja, keluarganya terlihat sangat harmonis, bahkan Aira adalah seorang anak yang di manja oleh kedua orang tuanya. Kabar perceraian keduanya membuat hati Aira benar-benar hancur.
“Maafkan, Ibu!”
Hanya kalimat maaf yang terucap, namun tak bisa menyembuhkan kehancuran hati Aira.
“Tolong jelaskan, Bu! kenapa Ibu sama ayah bisa bercerai.” Aira berteriak, lalu terisak kembali.
Ibu menarik napas dalam, menghembuskannya pelan, seperti mengeluarkan segala sesak yang memenuhi rongga dadanya. Perlahan ibu mulai mengontrol denyut jantungnya yang berdegup kencang, membalikkan badannya, lalu mendekap Aira.
* Flasback On
“Tolong jaga Aira!” ucap Hasan sembari menyodorkan sebuah surat.
“Apa ini, Mas?” Ibu Aisyah menghentikan suapan nasinya, ia meletakkan sendok yang berada di tangga, dan mengambil sebuah surat pemberian suaminya.
“Itu untukmu, bukalah! Aku tak punya banyak waktu.”
Aisyah-Ibunya Aira membuka pelan kertas tersebut, ia merasa aneh, karena sikap suaminya yang dingin.
“Apa maksudnya ini, Mas?” Ibu Aisyah terkejut, lalu berdiri dan mendekat ke arah suaminya. Ia sangat kaget saat mendapati surat yang di berikan suaminya berisi gugatan cerai dari Pengadilan Agama.
“Bukankah sudah jelas yang tertulis di kertas itu,” jawab suaminya singkat.
“Kamu menceraikan aku, Mas?”
“Iya, aku mau kita bercerai.”
“Kenapa, Mas? Apakah aku punya kesalahan, kenapa tiba-tiba kamu menceraikan aku?” Air mata Ibu Aisyah perlahan luruh, saat meyakini suaminya benar-benar menceraikannya.
“Aku sudah bosan, dan aku sudah memiliki wanita lain.”
Bagaikan sebuah sembilu, perih menusuk relung hati Ibu Aisyah, kalimat yang terucap dari suaminya meluluhlantakkan pertahanannya, tubuhnya lemas, terduduk di lantai. Ia bagaikan kehilangan setengah nyawanya, seluruh hidupnya ia abdikan untuk suami, berpuluh tahun jauh dari keluarga, tak pernah sedikit pun Aisyah membantah suaminya, namun kini hatinya hancur, terasa remuk hingga ke seluruh tulangnya.
“Kamu tak perlu khawatir, rumah ini aku berikan untukmu,” ucap Hasan- suaminya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Aku tak butuh semua hartamu, Mas. Kamu tega menghancurkan seluruh hidupku, aku memberikan semuanya untukmu, bahkan aku kehilangan kebersamaan dengan keluargaku hanya karena memilih menikah denganmu.”
Dada terasa sesak, sebisa mungkin Aisyah menahan tangis, ia tak ingin terlihat lemah di mata pria yang sama sekali sudah tak menginginkannya.
“Ha-ha, kamu bilang tak butuh harta? Bukankah kau menikah denganku hanya karena harta? Seharusnya kau merasa beruntung karena menikah denganku, semua kebutuhanmu terpenuhi. Dulu kau itu hannyalah orang miskin, yang tak berpendidikan,” ucap Hasan memicingkan mata.
“Jaga bicaramu, Mas! Selama ini aku memuliakanmu sebagai suamiku, semudah ini kau merendahkan harga diriku. Aku memang orang miskin, aku juga tidak berpendidikan sepertimu, tapi aku lebih paham adab, dan tahu bagaimana cara menghargai orang lain, tidak sepertimu.”
Perih, menjalar ke seluruh tubuh Aisyah, ucapan Hasan yang merendahkan harga dirinya, cukup membuat rasa sakitnya bertambah dalam. Amarahnya mulai memuncak, namun Aisyah mencoba menepisnya. Sikap lembut dan santun yang selalu tertanam dalam dirinya, membuat Aisyah lebih mudah mengontrol emosi.
“Tak ada gunanya bicara dengan orang tak berpendidikan sepertimu.”
Hasan merapikan baju, bersiap keluar dari rumah.
“Lalu bagaimana degan Aira? Ia akan sangat syok dengan perpisahan ini.”
Aisyah menghentikan langkah suaminya.
“Aira sekarang menjadi urusanmu.” Hasan menepis tangan Aisyah.
“Aira anak kita, Mas. Dia juga tanggung jawabmu.”
“Aku tak peduli, aku tak punya banyak waktu di sini.” Hasan kembali melangkah.
“Kamu tidak akan bahagia dengan hidupmu yang baru, Mas. Kamu akan menuai hasil dari apa yang kamu tanam. Semua rasa sakit ini akan menjadi hambatan kebahagiaanmu.” Aisyah berteriak, dengan emosi yang mulai memuncak ke ubun-ubun.
Hasan terdiam, berjalan kembali menuju Aisyah.
“Plak... !
Sebuah tamparan mendarat di pipi Aisyah, tamparan pertama setelah 25 tahun pernikahan. Hancur sudah seluruh harapan Aisyah, pria yang selama ini begitu harmonis kepadanya, tega berlaku kasar pada dirinya.
Hasan berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah. Ia sama sekali tak memedulikan Aisyah yang tersimpuh di depan pintu.
*  Flashback Off
Mengingat kembali kejadian 1 Minggu yang lalu, membuat dada Ibu Aisyah semakin sesak. Sementara Aira hanya membisu, mendengar penjelasan ibunya. Ia sama sekali tak menyangka dengan perbuatan ayahnya yang begitu kejam, bahkan tak mau lagi mengurus Aira- putri kandungnya. Aira teringat satu hal, ternyata pria yang saat itu ia lihat benarlah ayahnya. Ia merasa sangat menyesal tak menyadari itu, ia menyesal membiarkan ibunya di perlakukan kasar oleh ayahnya. Seandainya ia mengetahui semua lebih awal, ibunya tak akan sehancur ini.
“Maafkan Aira, Bu! Aira tak bisa menjaga Ibu, Aira membiarkan Ibu memendam luka yang begitu perih, anak seperti apa aku ini, membiarkan ibunya menderita seorang diri.” Aira terus merutuki kebodohannya. 
“Ini semua bukan kesalahan kamu, Nak. Ibu ikhlas jika ini memang takdir-Nya. Meskipun, hati Ibu masih terasa sangat perih, tapi ibu mencoba untuk legowo.”
Aira yang tertunduk, mengangkat pelan kepalanya, dan mengelap sisa-sisa air mata yang membasahi pipi manisnya. Ia tersenyum, lalu mencium tangan Ibunya dengan penuh takzim, tangan keriput yang selalu penuh dengan kelembutan.
“Ayo, masuk ke dalam kamu pasti capek baru pulang langsung mendengar kabar yang membuat hatimu terluka, maafkan Ibu! Ibu tak bisa mempertahankan ayahmu untuk terus menjaga kita,” pinta Ibu sembari mengelus puncak kepala Aira.
Ibu Aisyah menuntun Aira untuk masuk ke kamar, kabar perceraian dengan suaminya tentu membuat hati putri kesayangannya itu hancur, ia tak bisa membayangkan bagaimana bisa membahagiakan Aira, sementara hatinya sendiri kita telah mati, bahkan tersenyum rasanya begitu sulit.
“Istirahatlah!”
Ibu mengantar Aira hingga ke depan pintu kamar, memeluk Aira sejenak, lalu berlalu meninggalkan Aira. Masih sangat terlihat sorot kesedihan dalam mata ibunya. Aira membuka knop pintu, berjalan tertatih menuju ranjang. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, tatapannya beralih ke sebuah bingkai foto berukuran 10 x 10 terpampang indah di atas meja. Aira beranjak mendekatinya, mengambilnya dan menatap dalam-dalam. Sebuah foto yang berisikan dirinya, dan kedua orang tuanya. Ia dan ibunya memakai gaun berwarna putih, dan ayahnya mengenakan jas hitam dengan dasi berwarna putih tengah memeluk ibunya. Sedangkan Aira duduk di tengah sembari menggenggam setangkai bunga.
“Apakah cinta dan sayang ada masa kadaluwarsanya? Mengapa mereka yang dulunya saling mencintai, kini memilih hidup untuk hidup tak lagi bersama?”
Pelan Aira mengusap-usap bingkai foto yang kini hanya menjadi kenangan yang telah usang. Setetes air mata Aira jatuh tepat mengenai foto ayahnya.
Memori-memori sewaktu kecil bersama dengan ayahnya, terekam jelas di ingatan Aira. Bagaimana ia meminta ayahnya membantu membukakan tutup botol, mengajarinya bersepeda, membelikan banyak mainan, mengobati lukanya akibat terjatuh, dan saat-saat ayahnya memeluk Aira untuk melindungi dari kejahatan dunia luar. Kini semua hannyalah akan menjadi duri untuk kehidupan Aira. Semakin mengingatnya membuat hati Aira semakin perih, bagai tertusuk ribuan duri tajam.
Guyuran hujan menyadarkan Aira dari lamunan, ia tersadar jam sudah menunjukkan pukul 01.00, malam. Sudah 1 jam yang lalu ia termenung, mengingat rekaman memori kenangan bersama ayahnya, hingga ia lupa bahwa sedari tadi ia belum memakan sesendok nasi sedikit pun ke dalam mulutnya. Ia meletakkan kembali bingkai foto keluarganya di atas meja, lalu beranjak menuju dapur untuk mencari sisa makanan yang mungkin bisa mengganjal perutnya. Ia membuka tudung sayur yang berada di atas meja, namun nihil, tak ada sedikit pun makanan. Ia memilih memakan beberapa roti yang berada di dalam kulkas, dan minum sedikit susu untuk mengenyangkan perutnya, lalu terlelap.

Happy reading 🌈❤️

Dilema Hati AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang