Ini adalah pengalaman ayahku selama beliau tinggal di sebuah desa, di kaki gunung kawi, Malang, Jawa Timur. Untuk mempermudah penceritaan, aku akan menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu ayahku sebagai si 'Aku'.
***
Sekitar tahun 2000, aku membeli sebuah lahan untuk membuka usaha perkebunan jeruk di sebuah desa, di kabupaten Malang. Desa ini memang terkenal dengan perkebunan jeruknya sampai saat ini. Aku tidak bisa menyebutkan nama desa tersebut untuk menjaga privasi warga desa disana.
Aku membeli 3 lahan, 2 lahan berada di area perkebunan, dimana lahan tersebut akan aku gunakan sebagai kebun jeruk, sedangkan 1 lahan lagi berada di tengah desa yang akan kupergunakan untuk membangun rumah. Lokasinya tepat berada di depan balai desa, sehingga rumah ini pun dikelilingi oleh rumah-rumah lain milik warga-warga desa.
Rumah tempat tinggalku ini cukup jauh ke kebun, ke kebun A membutuhkan waktu sekitar 30 menit karena akses menuju kebun yang berupa jalan batu (makadam). Sedangkan kebun B membutuhkan akses jalan kaki yang lebih jauh, perjalanan naik mobil hanya 15 menit tapi perlu berjalan kaki di jalan tanah yang menanjak selama setengah jam.
Lokasi desa ini tidak terlalu jauh dari kota Malang, sedikit ke arah barat daya, dan dari desa ini, aku bisa melihat dengan jelas gunung Kawi yang menjulang di kejauhan. Jarak desa ini ke gunung kawi memang masih jauh, sekitar 14-16 km, tetapi jalanan desa ini sudah menanjak dan udaranya sejuk khas pegunungan.
Gunung Kawi di jawa timur memang terkenal, bukan karena sering didaki oleh para pencinta alam, tetapi karena hal-hal mistis yang menyelimuti keberadaannya. Gunung Kawi dikenal sebagai tempat orang-orang mencari pesugihan, penglaris, santet, dan ilmu-ilmu gaib lainnya. Aku tidak tahu menahu soal hal gaib seperti apa yang ada di gunung Kawi, dan sebaiknya sebagai umat beragama, kita menjauhi hal-hal yang berbau musyrik seperti ini.
Satu hari, aku dipanggil oleh seorang pengadah, atau tengkulak, untuk membicarakan soal musim panen yang akan segera tiba. FYI, pengadah atau tengkulak adalah orang yang mengumpulkan produk hasil bumi untuk di jual di pasaran. Merekalah yang membeli produk hasil bumi dari petani/peternak/nelayan dsb untuk dijual kembali ke pasaran.
Seusai aku menjemput anak keduaku pulang dari sekolah di sekitar jam 2, aku segera menitipkannya ke rumah tetangga, dan aku bersama istriku langsung berangkat menuju ke rumah tengkulak itu. Perjalanannya sekitar satu jam, karena rumahnya cukup jauh dan akses menuju kesana cukup sulit. Rumah si pengadah ini berada di tengah-tengah perkebunan jeruk yang luas, dan jalan menuju kesana itu adalah jalan batu (makadam) dan sebagian lagi jalan tanah yang tidak rata. Aku sampai di rumah si pengadah sekitar jam 3 sore. Kami berbincang soal rencana jual beli sampai sekitar jam 5 sore. Setelah itu aku berpamitan pulang.
Ketika kami mulai beranjak meninggalkan rumah si pengadah, hari sudah mulai gelap karena matahari yang sudah semakin tenggelam. Aku kembali melewati jalanan tanah yang di kanan kirinya dipenuhi oleh kebun jeruk yang pohon-pohonnya tidak terlalu tinggi. Tanah yang digunakan sebagai jalan memang posisinya agak lebih tinggi daripada tanah lahan perkebunan. Sore tadi ketika kami melewati jalan ini, pemandangan sore begitu indah dengan perkebunan luas di kanan dan kiri, dan gunung kawi yang menjulang di depan kami. Tapi sewaktu pulang, sudah tidak ada lagi aktivitas di kebun, dan karena cahaya matahari yang semakin meredup, suasana pun menjadi suram dan sedikit menyeramkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Buta: Titik dimana mereka tidak terlihat mata kita
HororSebuah kumpulan cerita horor nyata pribadi. Cerita diperoleh dari pengalaman sendiri, orang-orang sekitar, dan relasi yang memberikan izin untuk ceritanya dibagikan.