Chapter 25 - Mengagumi Kamu #1

32 10 0
                                    

Kamar kakek Borhan yang sekarang tidak jauh berbeda dengan ketika terakhir kali aku datangi. Bedanya hanya ada dua kasur terpisah. Yang satu—paling besar—pasti milik Borhan. Dan satunya lagi berukuran agak sempit, hampir menutupi lebar badan Charlie sendiri.

Dan sekarang Charlie masih belum tidur. Namun pakaiannya sudah berganti.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku setelah masuk ke dalam kamar dan berdiri di dekat Charlie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku setelah masuk ke dalam kamar dan berdiri di dekat Charlie.

Sekejap dia tampak kembali segar seperti biasa. "Aku baik."

"Aku tidak yakin kamu jawab dengan benar."

Sekejap kemudian dia terdiam.

Aku memberanikan diri duduk di sampingnya. "Aku sebenarnya masih takut dengan kejadian tadi siang. Kamu juga begitu, pasti sekarang tidak bisa tidur 'kan?"

Charlie menatap diriku sendu. "Kalau begitu cobalah untuk tidur sekarang."

"Mengapa kamu tidak lakukan saja dulu?" pintaku. "Aku tahu, bukan keinginanmu untuk membunuh seseorang. Dan keputusanmu untuk menembak orang jahat demi menghentikan suatu bahaya, itu sangat tidak buruk. Andaikan si jahat tetap menembak, pasti yang terjadi adalah—"

"Sudah cukup, Sarah!" Refleks Charlie menghentikan aku, dengan sebuah tepukan yang terasa di sisi bahuku.

Tangannya kini bersandar di kedua sisi bahuku.

Perasaan tak biasa muncul lagi padaku. Aku merasa dadaku bergejolak, sama seperti saat malam dengan hujan badai.

"Ah, maaf." Seketika dia menjauhkan tangannya dariku. "Sudah aku bilang kalau aku baik saja. Apa yang sudah terjadi tadi memang tidak akan bisa diubah. Tapi itu bisa aku hadapi itu sampai akhirnya—

Aku ingin merasakan gejolak itu lagi. Aku ingin merasakan sebuah debaran di dadaku lagi. Maka dari itu aku melakukannya lagi.

—"menghilang dengan sendirinya...," ucapnya selesai hingga saat itu, dan terdiam.

Ini sangat nyaman sekali. Jarang sekali aku merasakan ini. Bahkan pada anggota keluargaku sendiri—kecuali nenek—tidak pernah berbuat seperti yang aku lakukan sekarang, begitu pula pada orang tak sedarah maupun lawan jenis.

"Sarah... mengapa kamu... memelukku?" Kudengar dia bertanya dengan suara kaku.

"Aku ingin... ingin... terima kasih. Kalau kamu tidak ada mungkin aku sudah mati sekarang," balasku tenang.

Charlie masih diam, namun aku membiarkannya. Lagi pula aku sangat menikmatinya. Biarpun ia belum mandi, tetapi aku tidak merasakan aroma mencolok di badannya, justru semacam aroma yang menenangkan. Baik napas aku maupun napasnya sama-sama tenang. Dan aku benar-benar merasakan detak jantung—entah punyaku atau punya dia. Ini pertama kali aku memutuskan untuk memeluk seorang lelaki—maksudku tidak pernah meminta siapapun untuk dipeluk.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang