Prolog

113 16 6
                                    

“JADI Anda akan memenuhi undangan itu, Yang Mulia?”

Suara seorang pria bernada kalem terdengar dari bola hitam yang melayang di kamar bergaya gothic itu. Lampu lilin gantung di langit-langit kamar mencoba memberikan penerangan, meskipun perpaduan warna hitam dan merah pada dinding dan perabotannya tidak bisa dikalahkan. Sesekali api lilin bergoyang karena tiupan angin dari luar jendela yang terbuka. Di luar, awan hitam menelan habis sang bulan, sehingga kegelapan sangat berkuasa malam ini.
“Aku lebih suka menghabiskan waktu meminum anggur ketimbang datang menemui orang-orang berisik itu. Suasana hatiku jadi gampang jelek kalau harus satu ruangan bersama mereka,” balas seorang laki-laki dengan rambut hitam legam sambil menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Saat ini dia sedang memeriksa wajahnya yang putih pucat, meskipun tidak ada sedikit pun noda atau cacat di sana.“Namun, karena undangan tersebut ditulis resmi oleh Navarro, aku tidak mungkin mengabaikannya begitu saja, ‘kan? Lagipula, aku sudah lama tidak bertemu teman lama. Ah, mendadak teringat momen itu.”
 
“Emm… berarti aku menganggapnya sebagai ‘iya’, Yang Mulia?”
Terjadi keheningan beberapa saat.
 
“Alistair?”
“I-iya?”
“Sebagai asistenku, menurutmu apakah aku ini tampan dan memesona?”
 
“Anu ….” suara Alistair terdengar gugup dari bola hitam. Butuh waktu sekitar dua menit agar dia melanjutkan kalimat yang tertunda. “Tidak ada yang bisa melebihi pesonamu, Yang Mulia. Namun … mohon maaf, mengapa Anda bertanya seperti itu kepada saya? Saya ini … laki-laki.”
 
“Mengapa, ya?” tanyanya. Matanya yang tajam menatap langit-langit kamar sambil berpikir. “Karena aku ingin tahu saja. Toh, selain Lilith dan anakku, kamu orang yang paling dekat denganku. Tidak ada salahnya aku bertanya, kan?”
 
“T-tapi… itu kedengaran aneh.”
 
“Benarkah? Harusnya tidak aneh jika kau tidak memiliki sesuatu di dalam hatimu tentangku,” jelas orang yang disebut Yang Mulia. “Ah, kalau begitu, apakah kau menaruh rasa padaku Alistair?”
 
Alistair terkejut. Suaranya terdengar panik dan langsung tergagap. Sebisa mungkin menyangkal dugaan itu dan menjelaskan kalau dia hanya sebatas asisten pribadi Lord Betelgeuse, penguasa Malice Island. “Aku tidak mungkin .…”
 
“Aku bercanda, Alistair,” potong Lord Betelgeuse. Di akhir katanya dia tertawa mengingat suara panik asistennya yang lumayan mengocok perut. “Baru kali ini aku menemukan orang selucu kamu. Aku melihatmu sibuk bekerja dan tidak pernah bersantai. Memaksakan diri itu tidak baik, Alistair. Kau boleh mendatangiku untuk mengambil cuti dan pergi liburan.”
 
“Habisnya tadi itu benar-benar sesuatu tidak terduga,” balas Alistair dengan suara yang sudah lebih tenang. Dia menghela napas panjang, “Mungkin akan saya pertimbangkan, Yang Mulia. Meskipun sebenarnya saya menyenangi kerja overtime.”
 
Lord Betelgeuse terdiam sesaat.
 
“Besok akan saya suruh pengawal untuk mengantarkan Anda ke Maple Academy, Yang Mulia.”
 
“Tidak perlu, Alistair. Aku akan pergi sendiri.” Lord Betelgeuse menolak lalu mematikan bola kristal hitam, sehingga suara Alistair tidak lagi terdengar. Ia perlahan bangkit dari meja dan berjalan dengan langkah berirama menuju jendela yang terbuka. Matanya yang setajam mata kucing memandang ke luar sambil menerawang jauh. Ada kejadian besar yang akan terjadi sebentar lagi dan dia sudah tahu ke mana arah pertemuannya besok dengan petinggi Maple Academy. Seringai terkembang dari wajahnya.
 
“Navarro pasti sudah sangat khawatir, makanya dia meminta dukungan dari para Lord. Menyedihkan sekali,” ujarnya sambil terkekeh. Lord Betelgeuse melirik ke bawah, ke arah pekarangan kastilnya yang dipenuhi semak-semak tinggi. Di sana seekor ular baru saja mendapati makan malam yang enak. “Well, kurasa itu bukan tindakan yang buruk. Daripada berakhir menjadi makanan, kau terlebih dahulu melakulan persiapan, ya? Benar-benar orang yang menarik.”
 
Lord Betelgeuse menutup rapat jendelanya dan berjalan menjauh. Jubah hitam legamnya terangkat ke udara saat melangkah ke luar kamar. Tak lupa ia mengambil sepucuk surat dengan logo yang khas dari meja ke genggaman tangannya. Logo daun maple. “Aku penasaran dengan akhir dari semua ini,” gumamnya. “Yang jelas aku akan memperhatikan dari balik kegelapan. Dan ketika saat itu tiba .…” Lalu pada malam itu, tidak ada satu pun yang mendengar suara tawa jahat baru saja mengudara ke seluruh penjuru kastil.

Levi Strauss and the Journey to the North-West (HIDDEN YEAR 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang