Dari hari ke hari Gavin dan Sean rupanya semakin menikmati kebersamaan mereka sebagai rekan di kantor, bahkan keduanya sering berolahraga bersama di malam hari setelah pulang kantor. Mereka mengaku tak bisa jika satu hari saja tak berolahraga.
Keduanya juga terkihat akrab bak dua orang yang telah lama bersahabat, "Jadi Samuel itu Jaksa?." Tanya Gavin pada Sean.
"Iya, pertemuan Sasha sama Samuel di mulai dari gedung pengadilan pokoknya banyak drama perjalan mereka." Jelas Sean yang kini tengah mengaduk Bakmie miliknya, Gavin berjanji untuk mentraktir Sean makan siang pekan ini.
"Terus akhirnya jadian?."
Sean bergeleng pelan sembari menelan mie dari mulutnya, "Enggak, beda Agama." Jawaban Sean membuat Gavin sedikit lega.
"Dia non-is?." Entah pertanyaan keberapa yang Gavin tanyakan tentang Samuel pada Sean.
"Katholik, Tapi gue liat Sasha sama Sam sebenernya sama-sama suka kelihatan jelas sih vin."
"Keliatan sih..." Ucap Gavin menggantung.
"Apanya yang keliatan?."
"Tadi pas gue papasan sama dia, di pengadilan. Dia nyangka gue om nya Sasha."
Tanpa bisa menahan tawa Sean bertanya, "Kenapa dia bisa mikir kayak gitu, ya. Lo terlalu muda buat jadi om-om."
"Gue juga nggak setuju, gue nggak merasa mirip bang Haykal." Haykal adalah Om muda Shafira, Gavin tentu mengenalnya Haykal adalah adik bungsu dari ibu kandung Shafira.
"Lo kenal sama Om nya Sasha vin?." Kali ini Sean benar-benar menatap wajah Gavin, ia bingung bukan kepalang mengapa Gavin bisa tahu soal Haykal, bahkan Gavin memanggilnya dengan sebutan 'bang.
Gavin memijat pangkal hidungnya ia benar-benar lupa dengan perannya di sini, bisa-bisa nya ia mengucapkan hal yang membuat Sean begitu terkejut, jika sudah seperti ini Gavin tidak bisa lagi mengelak. Ia bisa saja beralasan, tapi akan sangat terdengar aneh dan tak masuk akal. Akhirnya Gavin menyerah, ia memutuskan untuk menceritakan segalanya pada Sean yang cukup ia percayai di banding Kathryn apalagi Bastian.
"Gini, yan... Sebenernya." Gavin menghela nafas panjang sebelum memulai.
"Gue sama Sasha itu sahabatan sejak SMP." Baru saja memulai pembukaan dari cerita panjangnya, Sean yang baru saja akan memasukan Mie pada mulutnya menggunakan sumpit , Mie dan sumpit tersebut sudah terjatuh kembali pada mangkuk Bakmie. Kalian bisa bayangkan wajah terkejut Sean, ia sampai lupa menutup mulutnya.
Gavin menggaruk kepala bagian belakangnya sembari menyeringai, Sean mengambil gelas soda miliknya ia mengisi gelas tersebut dengan beberapa butir es batu lagi lalu menguknya kasar, Sean menyelesaikan makannya ia terlalu terkejut.
"Jadi lo orangnya?!." Kini giliran Gavin yang bingung dengan ucapan Sean.
"Lo orang yang ninggalin Sasha ke luar negeri waktu lulus SMA kan?!." Gavin menelan air liurnya sendiri, 'Mati gue! Mati gue.
Dengan takut-takut Gavin mengangguk pelan, Dengan mata tajamnya Sean menaruh tangan kanannya pada lehernya mengisyaratkan pada Gavin "Mati-lo." Sean juga menarik dasi nya agar melonggar, Sayangnya ia masih berada di restoran kalau tidak mungkin Sean sudah memukul Gavin beberapa kali, namun sean tak melaukannya untuk menyakiti Gavin atau benar-benar membunuhnya Sean malah bersyukur pria yang selama bertahun-tahun masih di tangisi Shafira kini sudah kembali, Sean juga cukup lega ketika mengetahui pria tersebut adalah Gavin.
.
.
.
"Lo pasti mau mukul gue kan, yan.." Ucap Gavin yang kini duduk di kursi kemudi mobilnya.
Sean mengangkat sebelah tangannya, Gavin refleks menutup sedikit matanya. Namun Sean malah hanya menepuk pundak Gavin, "Untung lo orangnya, kalau cowok lain udah gue abisin." Ucap Sean santai.
"Sasha pernah bener-bener di fase nggak bisa tidur setiap hari..." Sean kembali membenarkan duduknya dan menatap lurus keluar kaca depan mobil, mobil milik Gavin tersebut tak kunjuk berjalan mereka hanya diam dan mengobrol di basemant kantor.
"Kathryn bilang, selama empat tahun mereka di korea Sasha emang udah sering cerita mengenai lo, pas dia balik ke jakarta lima tahun lalu, dan ketemu gue sama bastian di kantor ini Sasha juga cerita kalau dia punya sahabat yang lagi tinggal di luar negeri. Tapi anehnya dia nggak pernah sama sekali cerita jelek tentang lo, dia bilang sahabatnya itu satu-satu nya orang yang ngerti dia dalam setiap keadaan, dia juga nggak pernah nangis tiap kali cerita. Tapi gue selalu mergokin dia minum obat tidur, Sasha orang yang gila kerja hampir setiap hari dia lembur, katanya dia nggak mau di rumah sendirian lebih baik lembur di kantor." Sean menjeda sejenak kalimat panjangnya.
"Sasha tinggal di jakarta sendiri, dia milih buat nggak ikut mama nya yang udah punya keluarga baru di bandung tapi Sasha tetep ngejaga baik hubungannya dengan keluarga baru nya..."
Gavin sudah banyak tak tahu mengenai kehidupan Shafira sembilan tahun belakangan, dadanya begitu sakit mendengar apa yang dikatakan Sean, ia kecewa mengapa Shafira begitu terluka akibat dirinya yang sudah sangat tak berguna itu, "Selama Sasha cerita tentang gue, dia nggak pernah nyebut nama gue?."
"Enggak, dia cuma bilang 'Sahabat' sama sekali nggak pernah nyebut nama."
"Emang nggak pantes sih buat di sebut." Gavin tersenyum getir, ia bersyukur Shafira tak banyak menyebut namanya yang bisa aja membuat Shafira semakin terpuruk setiap hari.
"Dua tahun terakhir Sasha udah banyak berubah, dia ngurangin lembur dan ngebiasain dirinya di apartemen sendiri, dia juga mulai masak makanannya sendiri nggak makan mie instan lagi. kata kathryn Sasha jago masak pas mereka di korea, terapi nya juga berhasil Sekarang Sasha tidur di jam sembilan malam setiap hari, dia juga rajin minum teh insomnia sebelum tidur dia bilang pahit, tapi tetep di minum. Dasar...." Sean mengakhiri ucapannya dengan tersenyum mengingat Shafira.
"Sasha banyak berubah, gue nggak tahu hidup nya mulai normal seperti orang lain sekarang. Dia baru mulai nikmatin hidup nya gue muncul lagi. Tapi gue juga nggak bisa pergi lagi yan.."
"Jangan, jangan ninggalin dia lagi. Jangan buat dia mati dua kali vin."
Rasanya Gavin tertampar dengan kalimat Sean barusan, "Makasih banyak kalian udah jadi tiga orang sekaligus yang ngerti Sasha."
"Iya, setelah lo satu-satunya. Sekarang bukan cuma lo yang ngerti Sasha, ada tiga orang lainnya."
"Sasha masih suka nutup telinganya kalau kedinginan?." Salah satu yang selalu Shafila lakukan saat ia mulai merasa kedinginan ia akan menutup telinganya dan berjongkok.
"Ternyata lo beneran sahabatnya..." Ucap Sean tanpa menjawab pertanyaan Gavin.
"Masih tetep gue dong yang paling ngerti Sasha?." Ternyata maksud dari pertanyaannya tadi adalah menggoda Sean.
"Sasha tidur lampu nyala atau mati?." Kini giliran Sean yang menguji Gavin.
"Nyala lah" Jawab Gavin percaya diri.
"Gue yang paling ngerti dia, Fix!." Balas Sean dengan jumawanya.
"Dia nggak bisa nafas kalau lampu nya mati Yan." Gavin tak terima ia terus memebrikan pembelaan pada jawabannya tadi.
"Dia nggak bisa tidur kalau lampu nyala sekarang, silau. Ah gue menang."
"Sejak kapan Sasha bisa tidur gelap. Ngasal lo yan!."
"Jalan!." Ucap Sean yang menyuruh Gavin segera menjalankan mobilnya, Gavin memginjak gas melajukan mobil nya keluar dari Basement kantor selama perjalanan mereka masih saja membahas tentang lampu tidur Shafira, Gavin betul-betul tak mempercayai perubahan drastis seorang Shafira, padahal sejak dahulu Sahfira tak bisa tidur tanpa penerangan bahkan jika mati lampu saat ia tertidur ia akan segera terbangun karena merasa sesak nafas, bagaimana mungkin kini Shafira bisa tidur tanpa penerangan? Sungguh sulit di percaya.
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
S H A F I R A
ChickLitini kisah kehidupan para advokat muda yang berjuang untuk menyelesaikan misi setiap hari nya bertemu dengan kasus-kasus unik yang melelahkan, salah satu nya Shafira, ia memutuskan menjadi seorang pengacara sejak usia nya dua puluh empat tahun lalu...