-
-
-
-
Alcace menatap keluar jendela pesawat, hamparan awan yang putih terasa seperti dia bisa merasakan lembutnya, membuatnya tertegun, diam karena bentuk keindahan seperti itu, membawanya pada gadis yang dia rindukan selama dua minggu disibukkan oleh projek kerja di Paris.
Tanpa dia sadari senyum segaris tipis muncul di bibirnya.
Tangannya merogoh saku jaket kulit yang dia kenakan, mengeluarkan kotak beludru berwarna beige sparkling. Menatap lama dengan sirat yang begitu dalam pada binar matanya.
"Ingin melamar?"
Pertanyaan itu mengerjapkan mata Alcace dan beralih menatap ke sampingnya. Dia menemukan seorang pria dengan kaus dilapis kemeja denim dan kupluk menutupi kepalanya. Pria itu tersenyum ramah sambil mengedikkan mata pada kotak kecil di tangan Alcace.
Alcace berdecak lalu menggeleng sambil mengerutkan wajah. "Tidak, ini hanya..." Dia membuka kotak tersebut. "Hadiah untuk orang yang menunggu saya." Lanjutnya setelah memperlihatkan kotak itu berisi kalung berbandul gembok.
Dan pria tersebut mangguk-mangguk sambil tetap melihat ke kotak tersebut.
"Itu sama saja, hanya simbolis. Anda memberikannya dalam bentuk apapun tidak mengubah maksud di balik pemberian itu." Ucapnya agak bernada sarkas.
Alcace tersenyum. "Anda benar." Sahutnya. "Lagipula saya memang tidak bermaksud begitu."
Kemudian pria itu mengedikkan bahu acuh tak acuh namun sepertinya sangat paham maksud Alcace. Dia memperbaiki posisi duduk lalu memakai headset dan sibuk pada handphone-nya. Sedangkan Alcace, dia pun kembali menatap keluar jendela meninggalkan juga percakapan dengan orang itu tanpa berniat berkenalan atau berbasa-basi lebih banyak.
....
Jam sudah menunjukkan pukul 19.50 saat mobil Alcace memasuki lahan parkir rumah desain tersebut. Hampir semua lampu di kantor itu sudah mati, kecuali ruang di bagian sayap kanan lantai dua yang masih menyala.
Alcace mendecak dan geleng-geleng kepala, tidak biasanya Blue masih berkutat dengan pekerjaan kantor di jam seperti ini.
Namun langkahnya tetap begitu antusias memasuki kantor tersebut. Tangannya menggenggam kotak berisi kalung itu dengan erat. Sesekali tersenyum membayangkan raut Blue ketika menerimanya.
"Setia sekali, kamu juga tetap disini." Suara lantangnya menyapa Wasa yang duduk sibuk dengan komputer di balik kabinet kerjanya.
Tapi, sedetik berikutnya rasa semangat itu menguap darinya ketika ekspresi Wasa terlihat langsung mengeras, lirikan pria itu terus berganti melihat padanya dan pintu ruang kerja Blue.
"Ada apa?" Dalam, suara Alcace begitu ditekan bertanya.
Wasa menghela napas lalu memijak pelipisnya. "Saya tidak tahu kamu sudah kembali dari Paris dan..."Wasa balas menatap dengan lurus. "Ini bukan waktu yang tepat untuk menemuinya."
Alcace tidak mengindahkan kalimat yang jelas bernada peringatan tersebut, dengan pasti langkahnya kembali terhela menuju pintu itu.
Wasa terdiam memperhatikan dari kebinetnya. Tak berniat menahan, hal ini sudah sering terjadi dan tak sekalipun dia pernah berhasil mencegah kecuali harus siap beradu tangan dan kaki dengan pria itu--melelahkan. Dan Alcace tidak pernah bisa dihentikan.
Hanya selang berapa detik ketika Alcace membuka pintu itu, tubuhnya terpaku menemukan gadis yang tak luput dari pikirannya, duduk di atas pangkuan pria yang Alcace sendiri tak dikenali.
Tangan Blue melingkar di leher pria itu dan terlihat begitu senang dengan candaan yang dilontarkannya, tak sekali ciuman pria itu mendarat di pipi dan bahu Blue namun gadis itu nampak biasa saja bahkan hanya tersenyum atau tertawa.
Sampai kemudian pria itu tersentak ketika melihat Alcace masih diam berdiri di ambang pintu.
"Blue, kamu kedatangan tamu." Pria tersebut memberitahu sambil mengedikkan dagu kearah Alcace
Berangsur-angsur tawa Blue mereda lalu berbalik melihat dan segera wajahnya tertata dingin. Namun, itu hanya sebentar karena senyuman muncul di bibirnya, senyum sinis dengan mata sayu.
Terlihat seolah...menantang Alcace.
Alcace menghembuskan napasnya dengan begitu berat. kotak di Tangannya semakin dia genggam dengan kuat. Menahan emosi di situasi seperti ini bukan hal baru baginya, tapi tetap saja rasanya selalu tidak terbiasa. Meskipun...
"Saya ingin bicara dengan Blue sebentar." Ucapnya.
"Bicaralah disini, saya tidak akan--"
"Hanya sebentar! Keluar dari sini." Alcace memotong kasar ucapan pria asing dengan mimik selengean itu.
"Keluarlah." Blue akhirnya ikut berbicara.
Pria itu menggeleng tidak setuju. "Tapi Blue..."
Blue melirik tajam padanya kemudian berdiri dari pangkuan pria tersebut, memperbaiki rok dan baju yang dia kenakan dan merapikan rambutnya yang kusut di sana-sini.
"Keluar, bahkan lebih baik kamu pulang. Sudah cukup untuk malam ini. Kita lanjutkan di lain hari."
Pria itu mendengus mendengar kalimat tegas gadis tersebut, dia menatap sinis pada Alcace sebelum meraih jaketnya di atas meja dengan gusar lalu melangkah pergi dari sana.
Beberapa saat hening dalam ruangan tersebut setelah pria asing itu pergi.
"Namanya?" Tanya Alcace.
"Erick." Gadis itu menjawab tanpa ragu.
"Siapa?" Lagi Alcace bertanya
"Model rumah desain kami yang baru."
penjelasan singkat itu itu sudah cukup bagi Alcace, dia manguk-mangguk lalu mereka kembali sama-sama diam.
Blue berjalan ke arah jendela kaca besar dan memandangi hutan buatan yang memang sengaja dijadikan penghias bagian samping rumah desain tersebut. Dia termangu disana, hanya sebentar karena dia kemudian tersentak ketika tangan Alcace tiba-tiba memasangkan kalung di lehernya dan setelah itu memeluknya.
"Aku merindukanmu."
Blue melepaskan diri dari pelukan Alcace lalu berbalik melihat pada pria tersebut. Tangannya terangkat, merapikan rambut yang jatuh menutupi kening Alcace.
"Kamu tidak pernah mengikuti apa yang saya katakan." Ucap gadis itu lalu meletakkan tangannya di dada Alcace. "Sekarang bagaimana? Disini terluka dan saya tidak tahu cara menghibur kamu."
....
-
-
....Be Continue....
L•|2 🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporery
FanfictionSelamat datang di penderitaan... Basic of the dark love メメBlulave Yapoland : Mereka menyebut saya jalang. Karena telah berselingkuh dengan suami dari kakak saya sendiri. Mereka menyebut saya egois. Karena menginjak perasaan seseorang yang tulus menc...