PROLOG

4 0 0
                                    

Gadis berbalut seragam kotak-kotak berwarna biru tua dengan kerudung dan rok berwarna senada itu meremang. seolah kehilangan pijakannya, ia limbung, terduduk di antara meja kaca persegi berukuran kecil dan tembok.

Mata dan hidungnya memerah basah, ia meremas dadanya kuat-kuat. Mencerna kalimat-kalimat yang masih menggema dari bibir seseorang dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terlipat di atas meja, kepalanya di telungkupkan di sana, mencoba berjuang melawan pikiran-pikiran konyol tentang kabar yang baru di terima beberapa detik lalu sesampainya ia berhasil memasuki rumah. Nyaris menuju kamarnya, dari perempuan yang kini berdiri menyender pada lemari kayu jati. Tak jauh dari perempuan itu, lelaki berpakaian kaos oblong dan celana pendek selutut berdiri di ambang pintu. Keduanya sama-sama menatap dirinya dengan wajah gusar dan serba salah.

"Ibu... Di bawa ke rumah sakit kenapa nggak nunggu khanza dulu sih mak, kenapa nggak jemput khanza, kan bisa minta izin kepala sekolah dulu..." racaunya penuh emosi, suaranya naik satu oktaf, napasnya memburu. Tenggorokannya tercekat, susah payah mengatur napas agar sesak yang menghantam paru-parunya tak serta merta ikut membawa tubuhnya ambruk serta suasana di rumah semakin runyam.

"Jangan mempersulit jalan pengobatan ibumu za, jangan memperberat langkah orangtuamu ikhtiar, jangan di tangisi, kamu jangan begini nak, doakan ibumu, doakan mereka.." lelaki yang di taksir usianya lebih muda dari sang ayah dan merupakan adik kandung ayahnya itu unjuk suara setelah sekian lama mengheningkan cipta, mencoba menenangkan gadis yang jiwanya terguncang dengan posisi masih berdiri.

"Tapi nggak gini caranya om... Kenapa semua orang di rumah ini pada seneng banget aku nggak tau apa-apa soal orangtuaku, mereka orangtuaku loh, mau bikin aku nggak banyak pikiran nggak gini caranya dong om.."

"Toh aku tau atau enggak sama-sama pikiran juga. Bahkan dari awal emak kasih tau aku kalau bunda sakit di tempat orang, dan selama hampir 3 bulan liat bunda sama ayah pergi setiap hari, kadang pulang sore, kadang pulang dzuhur. Parut-parut wortel setiap hari selama itu, kalian pikir aku disini baik-baik aja!?"

"Terus ini... Apa ini!? Pulang-pulang dapat kabar kayak gini..." puas meluapkan kekesalan dan amarahnya, gadis itu mengusap kasar kedua pipinya, berdiri dan membuka lemarinya asal. Menyambar celana bahan warna hitam, kaos panjang warna abu-abu serta hijab warna senada, mengganti seragamnya dengan pakaian yang baru di ambilnya. Secepat kilat, tanpa memperdulikan lagi kondisinya yang butuh istirahat atau sekedar mengisi perutnya dengan sesuap nasi.

"Kita ke rumah sakit sekarang mak." putusnya telak.

Khanza, begitu orang-orang memanggil nama kecilnya. gadis belasan tahun itu berusaha merebut oksigen sebanyak yang ia bisa. Belum ada satu bulan ini, ia dan kedua orang tuanya di gempur oleh satu peristiwa yang melibatkan fisik, satu peristiwa yang membuat mereka nekat menerjang hujan badai dan petir, mengendarai motor tua dengan posisi di jepit kedua orangtuanya. Motor yang di bawa dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan keselamatan. Yang ada dalam pikiran hanya, rumah sakit dan waktu.

Tepat saat kakinya berpijak, dunia serasa menjungkir balikkan. Kehidupan khanza berubah seratus delapan puluh derajat. Merasakan indahnya mengenyam pendidikan, merasakan pertumbuhannya yang di kelilingi orang-orang berhati tulus, melaksanakan ujian dan menikmati kelulusannya dengan suka cita, teman-teman yang empati, memberi semangat. Keluarga utuh, quality time dan segala macam bentuk dari ekspetasinya di dalam kepala.

Berlebihankah dirinya ketika semua ia masukkan ke dalam cita-cita?

Setiap hari, hanya itu, salah satu dari sekian banyak permintaan yang di panjatkan dalam sujud sholatnya.

Keajaiban.

Tepat saat kakinya berpijak, terlalu banyak kehilangan, terlalu banyak air mata yang keluar, rasa sakit yang teramat dalam, emosi yang di paksa meredam, peristiwa perpisahan, bahkan keputusasaan.

Suara-suara menggetarkan itu mengguncang jiwanya, berlomba-lomba, saling sahut menyahut, membuatnya ketakutan setengah mati.

Gelegar dari jeritan seseorang yang menggema di seluruh sudut, saat salah satu dari anggota keluarga menyerah. Beruntung yang berkesempatan berada di samping saat menghadapi sakaratul maut. Bila tanpa sepengetahuan, jasad kaku di hadapan menjadi pelampiasan drama perpisahan.

Di perparah dengan suara rintihan kesakitan melumpuhkan seluruh organ-organ tubuhnya.

Di tempat itu pula, kisahnya berjalan!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEFINISI WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang