Mencoba mempertahankan hadirmu

4.9K 145 9
                                    

Pagi-pagi ketika kendaraan masih begitu sepi dan lengang, tetapi matahari sudah menyinari bumi dengan kemilaunya. Mira sampai di depan rumah bertingkat satu dengan halaman luas dan tanaman bunga-bungaan tertata rapi di sana.

Rumah itu bercatkan dominan putih dan beberapa bagian berwarna hitam. Simpel tapi elegan. Hati Mira berdenyut, rumah di depannya ini adalah rumah impiannya dulu. Segala sesuatu yang ada di sana adalah harapan ia di masa lalu. 

Namun, kini Mira hanya bisa memandanginya saja. Jo benar-benar membuat rumah seperti ini, tapi sayangnya Mira tidak ada dalam rumah tangganya, melainkan wanita lain.

Semakin mengingat, semakin dadanya menyesak. Ia fokuskan diri pada tujuan awal ia datang ke sana, untuk menemui Jo. Bukan untuk bernostalgia dengan kenangan lama.

Menekan melewati pagar yang terbuka, Mira bejalan dengan jantung berdebar kencang menuju pintu. Mengetukkan jarinya di sana. 

Suara perempuan menggema nyaring dari dalam sana. Mengatakan "sebentar" dengan nada terburu-buru.  Derap langkah kaki terdengar mendekat dan pintu terbuka, Alana muncul dari sana. Wanita itu masih memakai baju tidurnya, rambutnya diikat asal, dia memandang Mira dengan bingung.

Pagi-pagi begini seorang tamu tidak dikenal mendatangi rumahnya, membuat Alana cukup terkejut. Kepala-kepala mengingat-ingat wajah itu, karena sangat familiar di ingatannya.

"Ada apa ya?"

Dengan canggung Mira mengulas senyum, "Jonathan ada?"

Alana semakin curiga dengan gadis ini tak kala nama suaminya diucapkan. Tak sempat berpikir, seseorang menghampirinya.

"Siapa sayang?"

Itu Jonathan, masih memakai baju tidur yang kembar dengan Alana. Mata pria itu membulat saat mengetahui bahwa tamunya adalah Amira. Ia menelan ludah berat, apa mau gadis itu di rumahnya?

"Katanya dia cari kamu, Jo." Muka Alana tampak masam dan terlihat tidak suka. "Karena aku tidak ada urusan dengannya, aku ke kamar dulu ngurus Fatia."

Sepeninggal Alana, Jo mengusap wajahnya kasar. "Mau apa kau datang kemari?"

Belati tidak kasat mata menembus dadanya, memberikan luka tak berdarah di sana. Mira menatap tidak percaya pada gelagat yang diberikan oleh Jo, pria itu tampak dingin menghadapinya. Mira kehilangan kehangatan pria itu, yang dulu menjadi alasan mengapa hatinya mudah jatuh dengannya.

"Kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu, kau benar telah berubah ternyata," lirih ia berkata, matanya tak sanggup menatap Jo lama-lama. Terlalu sakit. Mendadak nyalinya ciut, tetapi sudah terlanjur basah.

Mendesah panjang, "Kau ingin memberitahu Alana yang sebenarnya?"

"Lalu setelah itu apa yang akan terjadi?" Dengusan kasar, disertai dengan decak kesal. "Berhentilah berpikir bahwa kita akan bersama, jangan terlalu naif, Mira. Tolong pikirkan baik-baik."

"Kenapa? Kau berpikir aku tak akan melakukannya karena itu berarti aku membuka aibku sendiri?"

Jo mengernyitkan keningnya, tidak percaya Mira senekat itu. "Mira jangan terbawa emosi. Tidak usah berlebihan, memang kita harus selesai secara baik-baik."

"Baik-baik katamu? Aku bahkan tidak menyetujuinya? Ini keputusanmu sepihak!"

"Mira jangan berteriak, Alana bisa dengar."

"Aku tidak peduli, seperti kau yang tidak peduli denganku." Menggenggam ujung bajunya, mengukuhkan hatinya, Mira berkata, "Kalau kau bisa menyakitiku, aku juga bisa Jo. Jangan kau pikir aku selemah itu!"

"Miraaa!"

Jo tidak percaya perempuan ini bisa mengatakannya. Seingatnya, Mira adalah gadis paling lembut dan ramah yang pernah ia temui. Pun ketika dulu ia memberitahu bahwa akan menikah dengan Alana, Mira hanya menangis dan mencoba mengikhlaskan hatinya, sebelum kemudian sama-sama sadar tidak bisa melepas satu sama lain.

"Kau bilang jangan berteriak, tapi kau malah berteriak. Lucu juga, ya, kau sebenarnya, Jo." Mira tersenyum meremehkan, mengabaikan raut khawatir di wajah Jo. Pastinya pria itu tak mau Alana mendengar dan mengetahui tentang mereka.

"Apa yang kau inginkan dariku? Tolong jangan sampai Alana tahu, aku akan melakukan apapun itu."

Dalam hati Mira bersorak kegirangan, seharusnya dari kemarin-kemarin ia seperti ini. Ia sudah berkewajiban untuk memperjuangkan apa yang perlu diperjuangkan.

"Malam ini datanglah seperti biasa." 

Lalu tanpa menunggu jawaban Jo, ia membalikkan badan berjalan pergi. Menemui taksi yang menunggunya tidak jauh dari rumah Jo.

Pada sisi lain, Alana menghampiri Jo yang memandang kepergian Mira dengan perasaan kacau. "Kenapa ribu- ribut, Jo? Lalu kenapa tamunya pergi gitu aja?

Perempuan itu menggendong bayi mungil yang terlelap mendekap pada Alana. Dari raut kebingungan itu, Jo dapat memastikan bahwa Alana tidak mendengar percakapan mereka.

"Bukan siapa-siapa, sayang. Aku lapar, ayo masuk kali ini aku yang masak."

"Tapi-tapi ...."

Pria itu masuk ke rumah menyisakan tanda tanya di benak perempuan itu, apa yang tengah Jo rahasiakan darinya.

***

Mengoleskan masker wajah alami dengan rata ke seluruh permukaan wajahnya, Mira tersenyum bahagia rencananya berhasil. Jo tidak bisa pergi begitu saja tanpa bertanggung jawab atas semua yang mereka lalui.

Jika benar-benar tidak mau melukai Alana, maka dengan alasan itu pula Mira tidak akan membuat pria itu lepas dari dirinya. 

Baiklah kalau Jo memang menginginkan dirinya bermain layaknya orang yang bersalah dalam situasi, maka ia akan jadi orang yang salah.

Seperti malam ulang tahunnya, Mira mempersiapkan dengan sedemikian baik. Tidak mau Jo melihat ada kecacatan pada dirinya malam ini. 

Rumah yang memang sudah bersih ia bersihkan sekali lagi, tak lupa menyemprotkan parfum ke segala sisi agar lebih sempurna, padahal jelas ada pengharum ruangan Mira memang sangat berlebihan sekali.

Suara ketukan menghentikan aktivitas Mira yang memoles lipstik di bibirnya. 

Dia sudah datang. Dengan langkah ringan ia berjalan ke pintu. Namun sampai selesai membukanya, ekspektasinya di hancurkan oleh penampakan pria itu.

Jo menurut permintaan Mira untuk datang. Tapi bukan seperti ini, dengan  ia tampak habis pulang kerja, wajahnya kusut, di tangannya tidak ada bunga seperti biasanya. Dan dari air mukanya, Mira tebak pria itu terpaksa datang.

"Aku, kan, mengatakan bahwa kau harus datang seperti biasa," keluhnya.

"Mira kita sudah berakhir. Hentikan ini semua."

"Enggak Jo. Aku nggak mau. Aku udah berkorban banyak!"

"Jadi? Kau mau apa?!"

"Jadikan aku wanitamu, tanpa sembunyi-sembunyi!"

"Gila! Aku sudah punya keluarga, istri dan anak. Sedangkan kau bukanlah siapa-siapa!" 

Satu tamparan melayang mengenai wajah Jo, membuat pria itu menggeram dan mengusap wajahnya yang memanas. "Kurang ajar! Enggak bisa! ENGGAK!"

Jo berdecih menatap remeh Mira. "Kau sekarang tampak seperti jalang."

Amarah Mira memuncak, ia hendak menampar Jo sekali lagi karena telah lancang mengatainya. Namun, sepertinya kali ini Jo dapat membaca gerakan Mira. "Kau mau apa?" tanyanya mengunci kedua tangan Mira ke belakang. Menyatukan tubuh mereka, wajah keduanya begitu dekat.

"Kau wanita kesepian yang minta ditemani ternyata." 

Jo mengangkat tubuh Mira ala karung beras dan membawanya ke kamar. Mencampakkannya dengan keras ke atas kasur itu.

Lalu menimpa Mira, "Kau sebenarnya menginginkan ini, kan?!"

"Bajingan kau, Jo." 

***

Mira kasihan sekali dirimu.

Wkwkwk. 

Cangtip1

Bukan selingkuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang