Chapter 7

189 30 7
                                    

-
-
-

-

Hati Blue yang kosong

....

"Sekarang bagaimana? Disini terluka dan saya tidak tahu cara menghibur kamu."

Alcace terdiam, dia tak bisa menanggapi pertanyaan dan juga kalimat Blue. Rasa takut malah lebih mendominasi, sebanyak itu dia memilikinya hingga tak mampu bersikap lebih realistis di hadapan gadis ini.

"Apa yang kamu sedang tunggu dari saya, Alcace? Atau mungkin kamu sedang mencari sesuatu." Blue memiringkan kepalanya, memperhatikan dengan seksama wajah pria itu. "Jawablah..."

Alcace memberikan tatapan teduh, dia mengangguk. "Saya menunggu dirimu yang dulu kembali." Dia menyapukan jarinya perlahan di pipi Blue kemudian berlanjut pada bibir gadis tersebut. "Saya menunggu bibir ini tersenyum manis dan ramah seperti dulu, tidak berpura-pura seperti di hadapan model bodoh itu."

Blue melepaskan diri dari jangkauan Alcace kemudian mengedikkan bahu. "Kamu harus lepas dari masa lalu, kita terlalu polos dan lugu saat itu."

"Jika berarti kamu terlihat lebih baik di banding ini, maka saya tidak masalah jika menjadi yang paling naif di dunia ini." Balas Alcace dengan tegas.

Tak disangka Blue malah tersenyum sinis, tatapannya berubah menjadi menantang lagi sambil mendekati Alcace lalu memajukan kepalanya tepat di samping telinga pria tersebut. "Jadilah seperti itu, maka saya bisa tetap ingat dulu saya juga pernah hidup." Dan kalimat tersebut di akhiri satu kecupan kecil di pipi Alcace.

Setelahnya Blue berjalan ke meja kerjanya mengambil tasnya, berniat meninggalkan.

"Blue saya mencintaimu."

Ucapan itu menghentikan langkahnya dan Alcace berjalan menghampirinya

"Aku tidak akan berhenti mengatakan ini, tolong jangan menyakiti dirimu terus-menerus." Ujar Alcace lagi. Blue menatapnya namun pria itu ternyata hanya melintasinya dan mendahului pergi dari sana.

....

Wasa termangu memperhatikan semua tisu menumpuk di samping tuas transmisi mobil, bergantian melihat ke Blue yang sibuk mengelap wajahnya berulang kali mengganti tisu kotor dan yang masih bersih.

"Kapan kamu akan berhenti?" Tanya Wasa. "Apa kamu akan terus menerima begitu saja perlakuan Terra?"

"Apa saya bisa terlepas?" Bernada nelangsa Blue balik bertanya. "Saya tidak tahu, mungkin saya akan terus begini." Sambungnya-ambigu namun Wasa mengerti.

"Saya temani kamu ke dalam." Wasa menawarkan ketika Blue hendak turun.

"Tidak usah, lagipula sekarang atau besok Terra akan mempermasalahkan ini. Jangan khawatirkan saya, banyak hal yang perlu di pusingkan dari pekerjaan kita jadi disitu saja kamu harus memikirkannya."

Wasa terdiam kembali, hanya memperhatikan gadis muda itu tersenyum lalu turun dari mobil. Sebelum melangkah Blue merunduk ke jendela mobil, melihat kembali pada pria tersebut.

"Jangan berbalik apapun yang kamu lihat atau dengar. Jika kamu sungguh perduli pada saya, lakukan itu." Ujar Blue sambil lalu berbalik.

Wasa memandangi sampai siluet Blue tak terlihat lagi, hanya berselang menit ketika gadis itu memasuki rumahnya dan Wasa bisa mendengar suara keras dari dalam sana. Genggaman tangannya pada kemudi mobil mengerat hingga menampilkan buku tangan, namun dia hanya bisa menunduk menenangkan diri meskipun telinganya masih terus mendengar suara-suara mencekam dari rumah itu.

Dan walaupun berat tapi Wasa harus memaksakan diri meninggalkan kediaman tersebut, segera sebelum dia menjadi tak tahan dan berakhir melangkahi apa yang sudah Blue tegaskan untuk tidak ikut campur.

"Sungguh saya minta maaf Blue." Gumamnya

....

"Kamu tahu apa yang akan terjadi jika sikap dia sudah seperti itu tapi kamu bahkan tidak datang untuk melihatnya," Wasa menggeleng, "tidak, kamu harusnya mampu membawa dia keluar dari kekonyolan ini."

"Bagaimana caranya? Hanya satu hal yang bisa saya lakukan untuk mereka dan Blue membenarkan itu, kamu sendiri pun tahu." Pria yang tengah duduk bersama Wasa tersebut, memandang terguguh pada cangkir kopinya kemudian membalas tatapan Wasa yang dari tadi tak lepas darinya. "Jujur saja ini juga sulit bagi saya."

"Erbi, biarkan keluarga Yapoland yang merawat Terra, orang tuanya atau siapapun itu, lepaskan Blue dari wanita itu." Wasa kembali mencoba menawar pada pria tersebut.

Lagi-lagi hanya terbaca raut begitu suram di wajah Erbi."Terra sendiri yang ingin mengikat Blue di sampingnya. Kamu tahu, saat itu hal yang paling menakutkan adalah baik tuan Yapoland atau istrinya, mereka mendukung itu melebihi siapapun. Bagi mereka, itu bahkan belum cukup untuk menghukum gadis malang tersebut."

"Blue tidak akan bisa menahan semua ini lebih lama, mungkin dalam rentang tahun yang tak bisa di pastikan, kita sungguh akan kehilangan dia. Sebulan sekali keluar masuk klinik psikiater dengan dosis obat yang tinggi terkadang harus dia minum, saya..."

Wasa tak melanjutkan kalimat hanya meraih cangkirnya, menenangkan diri dengan uap kopi tersebut.

Erbi memperhatikan pria yang terlihat lelah itu, bahkan melebihi dirinya. Bukan karena tak bisa mencari jalan keluar atau sekedar untuk menyarankan itu namun Erbi juga tak bisa bertindak lebih jauh. Keras kepala yang Blue punya, susah sekali di runtuhkan.

"Mungkin saja, jika mereka di temukan Terra akan sedikit memaafkan Blue." Wasa menyambung kalimatnya lagi

Erbi tetap diam, tak ingin menyambut perkataan Wasa lebih banyak, dia mengangguk-angguk sambil memikirkan semua itu. Dan entahlah, apa dia juga bisa menyelesaikan masalah pelit ini atau tetap membiarkan Blue terjebak dengan lingkaran menyedihkan antara Alcace dan Terra.

_
- Bonus monolog -

....

Be Continued...

L•|2 🍀

TemporeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang