Bunyi bel pintu berbunyi. Saya tak peduli dia pelanggan atau bukan. Namun, kali ini dia mau pesan apa, ya? Saya tak mau berhenti baca senandika yang menguras banyak waktu dan emosi hanya untuk melayani pelanggan tapi....
"Saya telat banget ya, Mbak?" Gadis super ceria yang saya tunggu muncul sambil melepas dasi dan kacamata. Hanya dia yang buat kegiatan saya terhenti begitu saja. Bukan sebab dia pegawai kesayangan saya, melainkan dia banyak tanya dan selalu mengarah pada saya. Padahal banyak pegawai full time yang bisa dijadikan pedoman kerja dia.
"Tak terlalu." Sembari sesap kopi moka buatan saya, Zeka duduk di samping Venchy yang mulai tata rambutnya. "Tidak ada acara di sekolah?"
"Tadinya mau rapat OSIS, tapi kata dia rapatnya mau di sini aja." Dia berlalu menyabet atribut siswi teladan, minta izin ganti pakaian di ruangan pribadi. Di sana hanya terisi dua bilik: kamar tidur darurat saya bila tak sempat pulang karena hujan dan kamar ganti pakaian pegawai.
"Kamu sendiri?" tanya saya sembari letakkan buku kesayangan dekat cangkir cokelat panas. "Sudah temukan hal yang menarik?"
Zeka terkekeh mengambil pustaka yang baru saja saya taruh. "Kau makin ke sini makin peka, ya. Aku ingin bicara denganmu di lantai atas."
Saya sendiri tak tahu Zeka memuji atau apa. Namun, saya turuti keinginan dia: pergi membawa secangkir minuman yang bisa rilekskan pikiran. Bertepatan Venchy keluar mengenakan seragam pelayan, saya minta bawakan dua piring kue bolu gulung cokelat.
Lelaki itu enggan menjawab selagi Venchy ada di sekitar kami. Saya tak jenuh akan perilaku manusia yang satu ini. Saling diam memandang minuman, terkadang celingak-celinguk nikmati pemandangan. Kadang pula dia bilang "Jalanan di sore hari ramai banget." dengan senyum manisnya. Saya takkan pernah terperdaya oleh Zeka.
Zeka sudah punya pujaan hati yang mau menunggunya amat sabar. Saya salut dengan wanita seperti itu, setia menunggu seseorang paling disayang dan rela tak menjalin hubungan demi 'dia'.
"Venchy sudah pergi," kata saya waktu periksa situasi di area kafe lantai atas ini. "Kamu bisa bebas bicara."
"Apa?" Muka polos Zeka buat saya menggeleng malas. Terlintas persoalan apakah Zeka sungguh melamun atau terserang serangan panik, tentu itu hal yang paling tak saya sukai.
"Venchy-sudah-pergi." Inilah yang buat saya malas akan tingkah Zeka tadi. "Langsung ke inti. Saya banyak kerjaan selain awasi pegawai dan mengatur keuangan."
"Halah, kalau baca buku senandika kayak gini mah," seenaknya saja kamu tunjuk buku kesayangan saya, Zeka! "di rumah juga bisa."
"Saya tantang diri sendiri buat rumah-rumahan dari kue jahe," tandasku menyipit tajam. "Saya tadi istirahat, niatnya mau tempel-tempel sisi rumah."
"Okelah kalau kamu emang lagi sibuk banget." Dalam sekali dehaman, muka Zeka terkesan dingin layaknya perwira yang sering saya tonton di berita khusus militer. "Aku mencurigai temannya Enci."
"Kenapa kamu bisa curiga?" tanya saya menyesap cokelat panas tanpa tinggalkan etika ketika minum depan orang. "Siapa namanya? Saya mengenal beberapa di antara mereka yang diskusi bareng Venchy."
"Namanya Danil." Koreksi. Namanya----yang saya ingat----Daniel. "Menurutku, dia sosok paling bahaya. Disaat aku tak mau Enci tau soal misiku, cowok itu bilang aku punya alasan lain terkait kepulanganku dengan entengnya. Aku salut dengan penalaran dan sifatnya yang sukar dikecoh, tapi bila Danil benci kebohongan seperti Enci, dia bisa saja beritahu hal tersebut."
Saya diam seribu bahasa, lebih memilih minum cokelat yang mulai menghangat. Bukan sebab tak punya saran lain, melainkan sebaliknya. Pertahanan Daniel yang sukar dimanipulasi pikirannya cukup kuat, tapi dia lemah dalam penyerangan langsung secara non fisik, itupun jika Zeka memiliki jurus ampuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
Aktuelle Literatur8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...