Sudah sejak sepuluh menit yang lalu aku berdiam di pembatas jendela. Menatap ke arah hujan yang saat ini sedang membasahi bunga-bunga di taman. Dan sudah sejak dua jam yang lalu juga Kak Irham belum menghubungiku kembali.
Terkesan berlebihan memang, tapi bagaimana pun juga kabarnya sangat aku butuhkan.
Baru dua hari aku berpisah dengan suamiku, tapi rasanya sudah seperti satu bulan saja.
"Dari tadi ngelamun aja, mikirin apa sih, Nis?" tanya Neneng yang membuat aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menoleh ke arahnya.
"Mikirin persiapan buat besok, Neng," jawabku.
"Yakin? Tapi kayaknya ada yang lebih dari itu deh ...!"
Aku pun beranjak dan mendekat ke arah sahabatku. "Sok tau, kayak peramal aja," bisiku membuat dia mendesis dengan tatapan mendelik.
"Ya emang aku itu peramal. Dan ramalanku saat ini, Anisa sahabatku sedang merindukan suaminya. Bener, kan?" desaknya yang membuat aku menaikan sebelah Alis.
"Idih ..., tau apa seorang Neneng soal rindu," sarkasku.
"Jelas tau, lah. Neneng tau kalau rindu itu berat dari Dilan. Dilan yang selalu merindukan Milea," kata Neneng dengan mengangkat kedua tangannya dan menatap langit-langit.
Aku meringis geli saat melihat kelakuan sahabatku itu. "Kebanyakan nonton sinetron nih!" Aku yang melempar handuk dan menyuruhnya untuk mandi.
******
"Kenapa Kak Irham dari semalam belum juga telepon aku yah?" Aku yang terus saja menatap layar handphone.
"Sabar, Nis! Mungkin suami kamu sibuk makannya belum bisa telepon kamu," ucap Neneng yang membuat aku menekuk wajah.
"Hmm ..., apa dia lupa kalau hari ini aku sidang. Seharusnya di semangatin aku disaat seperti ini, bukannya menghilang." Batinku yang memilih memasukan telepon genggam milikku ke dalam tas.
Belum satu menit ponsel itu berada di dalam tas. Terdengar nada sambung yang tak asing untukku. Yang tak lain nada dering dari telepon milikku. Aku menarik kedua sudut bibir dan merangkai senyuman bahagia. Karena tak ingin membuang-buang waktu, aku segera mengambil ponsel itu kembali.
Bunda, nama yang tertera begitu jelas di layar android milikku. Aku pikir Ka Irham yang menghubungi, nyatanya dugaan ku kali ini salah.
"Assalamualaikum, Bunda," sapaku yang membuat Bunda membalas salam itu kilat.
"Waalaikumsalam, sayang. Kok suaranya lemes? Kenapa?" tanya Bunda yang membuat aku terdiam untuk sesaat.
"Gak apa-apa, Bun. Mungkin karena Anisa terlalu gugup jadi seperti ini," jawabku asal.
Aku tak berniat untuk membohongi Bunda. Tapi aku juga tidak mungkin jujur sama Bunda tentang apa yang aku pikirkan saat ini. Tapi rasa gugup saat menghadapi sidang itu semakin bertambah saat suami malah tak kunjung memberi kabar.
"Anisa Kamila Khiyari!"
"Nisa, nama kamu udah di panggil tuh sama dosen," kata Neneng yang membuat jantungku semakin berdegub kencang.
"Bunda ...., Anisa tutup dulu panggilannya, yah! Nama Anisa sudah dipanggil. Doain Anisa juga, biar semuanya lancar! Assalamualaikum," ucapku menutup panggilan tersebut setelah bunda menjawab salam dariku.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Yang jelas sulit untuk di ungkapkan hanya dengan kata-kata. Aku yang merasa gugup sedari tadi mencoba menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Bahkan telapak tangan yang tadinya kering sekarang sudah berkeringat dingin.
"Bismillah. Semangat Anisa, pasti kamu bisa," batinku bicara pada diri sendiri.
*****
Sudah terhitung tiga puluh menit sejak aku masuk ke ruangan yang membuat panas dingin itu. Kucoba melangkah keluar perlahan meski lutut yang masih terasa gemetar.
Neneng yang masih setia menunggu membulatkan kedua matanya dengan alis naik turun. Aku masih diam saat menutup pintu tersebut mencoba tak menggubris isyarat dari sahabatku itu.
"Ikh malah diem, gimana, Nis? Lancar, kan?" tanya Neneng yang masih membuatku terdiam tanpa ekspresi.
"Duhh ...., Anisa jangan bikin aku takut gitu deh!"
Akupun menarik sudut bibir dengan wajah memelas sembari mengeleng-gelengkan kepala pelan.
"Neneng gak percaya. Pasti kamu bercanda, kan? desaknya yang membuat aku kembali terdiam saat menatap wajahnya yang mulai panik.
Bibir yang sempat dikerutkan perlahan mulai kembali ke asal. Bahkan wajah yang awalnya terlihat datar dan menyedihkan perlahan mulai ku ukir senyuman tipis.
Neneng menaikan sebelah alisnya seakan heran dengan pergerakanku. Apalagi di saat aku membuka lebar kedua tangan dengan senyuman mengembang.
"Maksudnya apa dulu, nih!" tanya Neneng yang membuat aku melemparkan senyuman indah ke arahnya.
"Anisa ...!! Jahat. Kamu jahat banget sama Neneng!" Serunya yang langsung memeluk tubuhku dengan suara dibarengi tangisan.
"Maaf ..!" kata yang pantas aku lontarkan karena telah mengerjai sahabat terbaikku yang super bawel dan nyebelin, tapi baik.
"Nyebelin, pokoknya kamu nyebelin banget," ucap Neneng saat melepaskan pelukannya. "Selamat yah, sayang. Akhirnya kamu berhasil,"sambungnya tersenyum.
"Maaf yah, Neng. Sekali lagi maaf banget karena aku udah ngerjain kamu." Aku yang menempelkan kedua tangan saat meminta maaf.
Neneng mengangguk dan tersenyum. Sebelum akhirnya dia menyodorkan tas dan handphone milikku yang sedari tadi dititip kepadanya.
Sekali lagi senyuman kebahagiaanku meredup saat melihat tak ada satupun pesan atau telepon masuk dari suamiku.
"Jangan sedih, Nis. Mungkin suami kamu benar-benar sibuk." Neneng yang sekaan menghibur ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Karena Cinta
Romansa"Ukhti Anisa kamila Khiyari. Mau kah engkau menerima khitbah ku?" ucap seorang lelaki yang saat itu jadi motivator di acara seminar. Dirinya secara tiba-tiba mengkhitbah seorang perempuan di depan banyak orang. Dalam sekejap suara bergemuruh dalam r...