📚 ∅3

705 82 7
                                    

"Wajahnya saat tertidur benar-benar manis. Ah, kenapa aku tadi tidak memotretnya ya?"

Jeno merasa kesal sendiri. Kertas tak bersalah di depannya bahkan jadi korban kekesalannya. Bukan kesal sih sebenarnya, hanya apa ya? Entah Jeno tidak tau harus menjelaskannya bagaimana. Intinya kesal saja.

Masih terbayang dengan jelas di kepalanya wajah manis itu yang tertidur. Padahal sudah lewat tiga hari dari kejadian itu, tapi Jeno masih belum bisa melupakannya.

Senyum tidak pernah lepas dari raut tampannya saat mengingat hal itu.

Ah, Jeno bisa gila karena si manis itu.

"Tapi kemana dia? Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak hati itu, tidak di perpustakaan, kantin atau bahkan taman sekolah."

Ya, selepas hari itu Jeno jadi rajin mengunjungi perpustakaan. Entah perpustakaan lantai satu atau empat. Dengan berbagai alasan, dari yang paling klasik--meminjam dan membaca buku--hingga yang sedikit tidak masuk di akal. Tapi untungnya, penjaga perpustakaan selalu mengijinkannya.

Walau harus terheran-heran apa gerangan anak itu mau menginjakkan kaki di perpustakaan. Begitu juga teman sekelasnya, mengira bahwa kepala Jeno terbentur sesuatu. Namun hanya di balas senyuman saja oleh si kapten basket.

Tapi sayangnya, Jeno malah tidak bertemu lagi dengan si manis. Sesibuk itukah hingga keluar untuk membeli makan di kantin pun tidak sempat?

Ia menghela nafas dan menyandarkan punggungnya pada kursi belajarnya. Manik kembarnya mengedar melihat meja belajar yang penuh dengan foto dirinya juga teman tim basketnya.

Sudah banyak kemenangan mereka bawa pulang untuk mengharumkan nama sekolah. Ia melirik sekilas kalendar kecil di samping lampu belajar.

"Hmm, minggu depan ya. Itu artinya kami akan lebih sering latihan. Ah, waktuku jadi berkurang untuk bertemu dengan Renjun." Ujarnya sedih.

Tapi mau bagaimana lagi, jika memang mereka di izinkan untuk bertemu lagi pasti juga akan bertemu. Lagi pula mereka satu sekolah, tidak mungkin tidak berpapasan 'kan? Tidak perlu bersedih seperti akan ditinggal kemana saja.

"Astaga dramatis sekali diriku." Monolognya kembali mencibir diri sendiri.

Jeno bangkit dari kursinya dan mengambil jaket hitamnya. Ia ingin ke minimarket sebentar membeli persediaan cola.

Saat berada di bawah, ia berpapasan dengan ibunya. "Hai sayang, ingin kemana?" Nyonya Lee tampak seperti habis dari taman belakang, terlihat dari topi berkebun dan sarung tangannya yang di penuhi tanah.

"Ingin ke minimarket sebentar, mama ingin menitip?"

Nyonya Lee menggeleng dan tersenyum lembut. Melepaskan sepatu karet, sarung tangan juga topinya dan mencuci tangan.

"Tidak ada, tapi jangan terlalu lama ya. Langitnya sudah mendung, mungkin akan segera turun hujan."

Jeno membalas senyum ibunya dan mengangguk lantas segera beranjak. Begitu berada di luar rumah, ia melihat kearah langit. Benar ternyata sudah mendung, Jeno menimbang haruskah ia membawa payung untuk jaga-jaga?

Tapi, rasanya tidak perlu. Toh iya tidak akan lama, dan bisa segera kembali setelah urusannya selesai. Lagipula, jarak minimarket dan rumahnya tidak terlalu jauh.

.

.

.

"Woah, ramai sekali."

Jeno terdiam sesaat melihat minimarket yang cukup pada, tidak seperti hari biasanya. Bahkan di kasir saja harus mengantri.

Menghindari pengunjung yang mungkin saja bisa bertambah ramai, Jeno segera menuju ke tempat rak cola tersimpan. Tidak hanya itu, ia juga mengambil beberapa camilan dan pastinya ramen.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Library •NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang