new york

380 33 4
                                    

Hanna

Musim dingin akan segera datang yang mana artinya aku harus ekstra bersabar melewati hari-hariku seperti biasanya. Aku memang tidak menyukai musim dingin. Tidak ada alasan spesifik, hanya saja aku memang tidak menyukainya.

Aku menghela nafas panjang dengan posisi tubuh telentang ditengah kasur. Seminggu berlalu begitu saja setelah sidang kelulusanku, dan kini aku sudah merindukan suasana kampus yang begitu ramai. Aku adalah lulusan S1 di salah satu universitas di New York. Jurusan yang ku ambil sesuai dengan keinginanku selama ini yaitu sastra.

Sebuah notifikasi dari ponsel yang ku abaikan sedari tadi akhirnya mengalihkan perhatianku. Dengan malas aku mengambilnya lalu kemudian tersenyum ketika mendapat nama Peter di sana.

Peter Klein, laki-laki jakun itu adalah kekasihku. Kami sudah menjalin hubungan sejak awal aku masuk kuliah di New York university. Dan hal itu berarti hubungan kita sudah sekitar 4 tahun berjalan.

Ia memberikan kabar kepadaku bahwa ia baru sampai di Washington untuk mengunjungi keluarganya. Peter dan kedua orang tuanya memang tinggal berpisah, karena sejak kecil ia sudah tinggal dengan nenek dan kakeknya yang berada di New York.

Sebuah ketukan di pintu membuatku akhirnya menoleh,

"Hey, sweetheart. Bisa tolong ikut denganku sebentar?"

Aku tersenyum lalu beranjak dari kasur untuk mengikuti Ibuku. Suara orang mengobrol di bawah membuat keningku mengerut. Seorang laki-laki paruh baya yang duduk di depan Ayahku itupun tersenyum. Untuk sesaat wajahnya itu tidaklah begitu asing dimata ku, kita seperti pernah bertemu sebelumnya, namun entahlah. Dengan sopan aku pun membalas senyumannya.

"Lihatlah, dia sudah sangat dewasa. Aku sampai terdiam karena tidak sempat mengenalinya." ujar laki-laki itu yang membuat Ayahku terkekeh.

"Maaf, Sir. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku memberanikan diri.

Aku melihat Ibuku yang juga ikut tersenyum sambil tanganku yang digenggam olehnya.

"Tentu saja. Kau pikir siapa orang yang menolongku waktu itu saat terjatuh dari sepeda?"

Untuk sesaat aku pun terdiam dengan mencoba menerawang pikiranku sendiri. Orang yang menolongku saat jatuh dari sepeda?

"Anda..." Aku mencoba mengingat siapa Tuan baik hati itu.

Ya, aku mengingatnya. Kejadian itu sudah sangat lama, saat aku kelas 6 sekolah dasar. Jangan menertawakan aku karena baru belajar menaiki sepeda saat usiaku akan menginjak remaja, ini semua karena rasa takutku lah yang begitu besar.

"Nicholas Johannsson."

Benar, dia adalah paman Nicho.

Aku sedikit membulatkan mata ketika melihat sosoknya yang sekarang ini. Bukan, bukan karena ia sudah terlihat tua, melainkan aku baru sadar jika sudah selama itu aku tidak bertemu dengannya lagi. Entahlah, setelah beberapa kali datang ke rumahku dulu untuk bertemu dengan Ayahku, aku tidak mendapatinya datang setelahnya.

"Astaga, Paman Nicho... Paman dari mana saja?" tanyaku dengan begitu penasaran.

"Living his life, of course." sahut Ayahku yang membuat Paman Nicho tertawa.

Mereka memanglah sangat dekat, karena setahuku Paman Nicho adalah teman masa kecil Ayah yang masih berkomunikasi dengannya hingga saat ini. Benar-benar berbeda dengan teman-teman Ayah yang lain. Aku benar-benar bersyukur karena Ayah memiliki teman yang sama-sama tidak melupakan satu sama lain.

"I live in Milan with my wife and our family." jelas Paman Nicho.

Pantas aja aku tidak pernah mendapatinya berkunjung lagi ke New York, ternyata Paman Nicho berada di negara lain.

PERFECT DEMONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang