Juara Kedua - Erina Rahda

8 4 5
                                    

Aku si Perenung. Aku tidak mengerti, mengapa tidak memilih loncat saja ke batu terdekat untuk kabur dari jerat asmara yang membelenggu dengan jaring berduri cemburu. Sangat banyak sampai tiap sarafku tertusuk olehnya. Belum lagi topeng bualan yang menambah dosa. Bagaimana aku bisa berkata jujur kalau ucapannya kala itu terus terngiang?

"Ar, semisal ada cewek yang suka sama kamu gimana?" tanyaku. Saat itu sedang memeras rok biru yang masih dipakai di pelataran ruko. Tanpa bercermin, aku pun tahu penampilanku sangat lusuh akibat menerjang hujan. Tak beda jauh darinya.

"Ya, dijauhin. Kecuali aku suka dia balik. Cuma enggak mau aja kalau mereka ngiranya aku ngasih harapan, padahal enggak."

Setiap mengingat itu, aku selalu memahat penegasan di otak agar tidak menunjukkan rasa suka yang meliar bak ilalang kalau tidak ingin dijauhi olehnya. Alasan senang itu sederhana. Mendengarnya bercerita, melihat dia tertawa, menghabiskan waktu bersama ... kurasa itu sudah cukup menafkahi batin.

Namun ....

"Nar, kamu kenal sama Raya? Anak IPS itu, loh. Yang senyumnya manis. Enggak famous, sih, orangnya. Terus biasanya ke kantin udah kayak mau demo, rame-rame sama temennya." Ucapannya ini mengawali percakapan kami di telepon pada suatu pagi di hari Minggu. Aku meninggalkan sepatu yang baru kusikat sebelah begitu saja. Demi dia.

Setiap topik pembicaraan membahas perempuan lain, perasaan selalu tidak enak. "Aku tahu. Memangnya kenapa, Ar?"

"Dia kayaknya suka aku, deh."

Seharusnya aku lega. Suka = jauhi, itu persamaannya. Namun, napasku masih tertahan sampai jawabannya benar-benar meyakinkan. "Terus kamu mau jauhin, 'kan?"

"Ehm, entahlah. Dia orangnya lucu. Aku enggak sengaja nginjak sepatunya, dia marah-marah gitu. Aku jadi keingat sama mama. Mungkin aku coba aja dulu kali."

Kalau saja karbon dioksida itu padat, aku mungkin sudah mati karena lama menahan napas. Dadaku sesak mendadak. Cemburu yang satu ini lebih tajam dari biasanya. Baru kali ini dia mengatakan secara jelas akan mendekati seorang perempuan, yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.

Aku sadar, sangat, sejak saat itu waktu kami bersua makin jarang. Bahkan beberapa hari aku tidak melihatnya di sekolah. Tidak ada kabar. Pesan terakhirku tidak dibacanya, sedangkan dia selalu online. Ini salah. Ini tidak benar. Hatiku ... aku tidak tahu sudah seperti apa rupanya.

Keadaan itu membuatku sulit membiasakan diri. Mati-matian kutahan jari untuk tak mengiriminya pesan, padahal dulu tak ada hari tanpa itu. Aku juga harus melemaskan kaki untuk tidak menghampirinya di kantin, setelah beberapa saat mataku lelah berkeliling hanya untuk mencari sosoknya yang sedang duduk bersama Raya.

Dia itu jawaban atas pertanyaanku. Lantas, saat aku tidak mengetahui jawaban, aku sibuk mengandai-andai jawabannya. Seperti saat menjawab soal ujian yang tidak diketahui. Sudah seberapa dekat mereka? Apa mereka sudah pacaran? Apa selama beberapa hari ini dia online untuk Raya?

Apa arti adil itu? Aku yang selalu memberikan yang terbaik untuknya, tetapi dia malah membalas pada Raya. Aku yang ada di sisinya selama ini, tetapi Raya yang baru datang langsung duduk di singgasana. Itukah yang namanya adil?

Kemudian, aku jadi perenung andal.

Tak beberapa lama setelah itu, dia menyapaku di kelas. Akhirnya dia berkabar, kabar buruk. "Hai, Nar! Tahu, enggak? Aku jadian sama Raya. Pacar pertama dan mungkin ... cinta pertama."

Senyumku membabar di wajah. Dalam hatiku memaki, masih bisa juga pakai topeng bual sialan itu! Tak sadarkah dia, di balik senyuman ini, aku sungguh terluka?

"Cie, pacar pertama, nih. Akhirnya Ar bentar lagi bakal punya mantan." Amiin. Cepat putus, ya!

"Penginnya, sih, langgeng."

Di antara renungan-renungan, aku sadar jika terlewat suka padanya. Sudahkah rasa sukaku menyentuh batasnya dan sampai ke cinta? Pemikiran itu tidak muncul begitu saja seperti jin. Ada beberapa sebab umum: ingin memonopoli dia, menyukai apa pun yang ada padanya, tak masalah jika dia berbuat salah, cemburu saat dia dekat dengan perempuan lain---tentu saja.

Sebab khususnya adalah hal bodoh. Aku memang menjauhinya beberapa hari. Namun, hidupku rasanya seperti ampas yang sudah diperas santannya. Beberapa bulan selanjutnya, aku bersikap tidak apa-apa. Kusembunyikan detak jantung juga sorot mata penuh rasa padanya. Kutunjukkan pada dunia seolah aku tak menyukainya hingga dapat bersikap biasa saja melihat dia bersama Raya.

Tentu saja hatiku yang jujur itu merasa sakit. Idiot mana yang terus menjalani cinta toxic? Aku. Pelan-pelan, ego mulai menjamahku. Aku hanya ingin ada kita. Berdua. Tidak bisakah?

Raya sudah memiliki banyak teman yang peduli. Cukup serakah hingga merebut perhatiannya. Padahal aku sempat mendengar bisik-bisik mereka tentang Ar. Mereka menghujatnya hanya karena hal sepele yang membuat sejoli itu mengalami konflik ringan. Solidaritas? Hah, lebih mirip keganasan anjing peliharaan yang suka menggigit. Bisa kusimpulkan, Raya sering menjadikan Ar sebagai topik gosip. Aku tidak suka itu.

Bertahan hingga sekarang? Aku yang dulu tidak akan menyanggupi walau hanya dalam pikiran. Hatiku penuh bilur sebagai akibat dari mencintainya. Namun, kata "bertahan" itu sempat goyah hanya karena hal sepele. Tepatnya karena sebotol air yang dia beri pada Raya, sedangkan aku juga menahan dahaga.

Tingkah itu hanya memperjelas makna aku di hidupnya. Tidak lebih penting dari Raya yang baru beberapa bulan dikenalnya. Apa aku jadi juara kedua? Cinta itu tidak adil!

Entah sudah berapa banyak cemburu dan bual. Semua terhanyut oleh realita jika dia bukan milikku. Jika tidak bisa dipastikan, aku akan mengalah.

"Tumben ngajak ketemuan, Nar. Akhir-akhir ini kamu ngehindarin aku? Kamu ada masalah? Ada yang ganggu pikiran kamu?"

Aku tersenyum. Kamu aja yang selalu kelihatan sibuk sama Raya. Bagaimana pula aku bisa move on kalau dia terlihat selalu peduli padaku? Aku akan coba cara ini. "Kamu tahu, 'kan, kalau rasa suka itu enggak bisa dikontrol. Itu yang ganggu pikiranku."

"Terus?" Aku ingat wajahnya sangat resah saat itu. Tidak beda jauh denganku.

"Ini memalukan! Aku cuma mau bilang aja. Cuma mau bilang. Ar jangan marah atau ngerasa bersalah. Ini bukan salah kamu. Maaf." Setelah mengatakan itu, aku menunduk. Aku sudah lama mengenalnya; aku tahu pasti jika dia mengerti. Tidak ada suara untuk beberapa detik.

"Jadi aku harus gimana? Maaf."

Aku ingin menangis saat dia mengatakan itu. Rasa sukaku memang cuma jadi beban untuknya. "Aku yang minta maaf. Aku gak bisa ngendaliin perasaan ini."

"Nar, serius? Tapi aku enggak ngapa-ngapain kamu. Apa sikapku selama ini memang bikin kamu baper? Nar, kita udah temenan bertahun-tahun. Jadi kamu aneh gini karena jealou sama Raya? Ya ampun, Nar!"

Air mataku jatuh sambil beberapa kali menggumamkan kata maaf. Ini memang bukan salahnya, dan melihat dia frustrasi sambil mengacak rambut ... itu membuatku makin jatuh. Sebelum tangisku menjadi isak, aku harus selesaikan semuanya. "Ini seperti tindak kriminal, Ar. Anggap aja gitu. Aku suka kamu tanpa izin dan itu bikin kamu enggak nyaman. Aku siap nerima hukuman. Jauhin aku. Biarin aku move on. Walau mungkin, kita enggak bisa sedekat dulu lagi tanpa rasa canggung."

Dia memang tidak menjawab apa pun, dan aku tahu jawabannya. Sudah beberapa langkah aku pergi, tidak ada seruannya yang mencegahku. Baiklah, ini caraku untuk move on. Mungkin terlalu bodoh tanpa persiapan matang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SONGLIT: Tone of My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang