Suara kendaraan yang berlalu lalang bertautan dengan suara pengunjung. Tidak peduli seberapa ramainya tempat ini, mereka tak ada rasa enggan bahkan terus memanggil si penjual untuk memesan pesanan mereka.
Meski begitu, Bu Ranum sebagai penjual di warung kecil ini pun tak bisa dengan segera menghampiri mereka serentak. Dia bekerja hanya dibantu seorang putrinya yang berumur sekitar 14 tahun.
Berbeda dengan pengunjung lain yang singgah makan di mari, sekelompok anak sekolah yang terdiri dari tiga orang cowok dan dua orang cewek itu masih setia menunggu hingga Bu Ranum menyelesaikan yang lainnya.
“Awas aja nanti giliran kita makanan Bu Ranum udah habis,” kata salah satu cewek itu.
Dia Inisya Prabunanti. Rambutnya panjang, hitam bergelombang di bagian bawah. Dia manusia paling stylish di antara mereka berlima. Bisa dilihat dari sepatu dan tas sekolah yang dikenakannya. Hampir tidak pernah menguncir rambut, katanya akan terlihat pipinya yang agak berisi. Jangan lupa, dia yang paling cerewet dan heboh di antara mereka berlima.
Inisya atau biasa dipanggil Inis ini cukup populer dikalangan siswa cowok. Dia kerap jadian dengan beberapa cowok keren di SMA. Meski tidak ada yang berlangsung lama, bukan berarti dia ditipu atau dipermainkan. Inis memang tipikal cewek yang mudah bosan, sekaligus tak suka dengan kekangan dan sejenisnya. Hidupnya hanya miliknya.
“Gue gotong makanan orang-orang ke tong sampah kalo sampai habis.”
Kali ini adalah Tian Ananda Rangkar. Dia cowok tersantai sekaligus termalang di antara mereka. Hanya Tian yang memecahkan rekor ditolak cewek sebanyak dua puluh kali. Padahal wajahnya tak sekacau itu. Hanya Tian juga yang selalu dipanggil wali kelas karena nilai ujian semester tak pernah mencapai angka KKM meski sudah ketahuan membawa contekan.
Namun, itulah guna sahabat untuk saling melengkapi. Ini sabda yang selalu Tian ucapkan untuk menyemangati diri sendiri. Walau begitu hanya Tian yang paling loyal di antara mereka terutama soal uang. Kebetulan cowok itu terlahir dari keluarga yang berada.
“Pret. Gak yakin gue lo berani ngelakuin itu,” sahut Harsa.
Kalau Harsa punya nama panjang Harsa Genta Pranuma. Dia cowok bermata teduh nan keren. Tidak sedikit siswi di SMA yang terang-terangan menyukainya, tapi tak ada satupun yang berhasil memiliki hati cowok itu. Bukan karena Harsa penyuka sesama jenis, tetapi karena pemikiran Harsa yang tak sama sekali menganggap pacaran adalah hal yang harus dilakukannya di bumi ini.
Baginya punya pacar ataupun tidak hidupnya akan tetap sama. Justru akan lebih menjengkelkan bila ada pacar. Jika dirinya butuh teman dinner cewek maka ada Inis atau Nairin yang bisa diajaknya. Mereka berdua bawel dan perhatian melebih pacar. Selama keempat sahabatnya bersama dengan dia maka pacar tak ia butuhkan.
“Iya. Sok-sokan lo mau gotong tu semua makanan ke tong sampah. Bisa diamuk. Belum lagi, noh, ada emak-emak. Bisa lebih parah ngamuknya.”
Yang satu ini, Alkara Zen Briona. Ya, tidak jauh berbeda dari dua cowok sebelumnya. Dia pemilik mata cokelat dan bibir tipis. Yang paling mengayomi di antara semuanya, selalu logis dalam bertindak. Alka pandai menempatkan diri di setiap kondisi. Terkadang bisa terlalu serius, terkadang bisa receh dan selalu percaya diri. Terutama soal ketampanan. Meski memang dia yang lebih unggul soal ketampanan dari dua cowok sebelumnya, harusnya tak perlu terlalu percaya diri, kan?
Entah janjian atau apa. Alka dan Harsa memegang prinsip yang sama. Walau sempat berpacaran, tetapi nyatanya tak cukup bertahan lama. Baginya sulit menemukan yang memang cocok dengan dirinya.
“Maaf, ya, jadi lama. Mau pada pesan apa hari ini?” tanya Bu Ranum yang akhirnya menghampiri meja mereka.
Semua tampak semangat. Kenyataan bahwa Tian tak bisa menggotong makanan pengunjung lainnya cukup membuat cowok itu tenang. Dia belum siap diamuk oleh ibu-ibu.
“Untung belum habis, ya, Bu. Kalau enggak Tian mau bikin ulah katanya,” ujar Inis.
“Sudah pasti enggak habis. Masa langganan dikecewakan,” jawab Bu Ranum dengan kekehan.
“Terbaik sih, Bu Ranum,” puji Alka.
“Ya sudah, pesanannya seperti biasa?” tanya Bu Ranum.
“Iya Bu.” Mereka serentak menjawab.
“Siap. Ditunggu, ya.” Bu Ranum baru saja hendak berbalik.
“Ibu jangan lupa, ya. Punya Harsa jangan pakai jeruk sotonya, punya Alka enggak pakai tauge. Yang lainnya lengkap. Dua es teh manis buat Alka sama Tian, satu es kosong buat Inis dan teh tawar hangat buat saya. Semuanya pakai gelas tinggi dan minta piring kecil buat saya pisahin ayamnya. Makasih ya, Bu.”
Dan ini dia yang terakhir. Nairin Andina Lathifa. Dia layaknya Induk mereka semua yang paling paham tentang kesukaan dan yang tak disukai dari keempat manusia sebelumnya. Nairin juga yang selalu menjadi alarm mereka soal tugas dan hari-hari penting.
Nairin dijuluki putri pengertian oleh mereka. Hampir tak pernah marah dan selalu memaklumi, wajahnya selalu tampak tenang dan ceria. Nairin tidak memegang prinsip apapun layaknya Harsa dan Alka, tetapi memang belum menemukan seseorang yang pas untuk dirinya. Berkat Nairin pula mereka bisa bersahabat seperi saat ini. Bahkan bertahan sejauh ini.
“Sip. Ibu buat dulu, ya.” Bu Ranum segera kembali ke belakang.
Mereka berlima menamai persahabatannya dengan saturasi sebelas. Bukan tanpa sebab, tetapi seolah memang sudah ditakdirkan saling melengkapi mereka semua lahir di tanggal sebelas. Yang membedakan hanya bulan kelahiran.
Mereka semua bersekolah di salah satu SMU Swasta yang ada di Jakarta. SMU Saturnus Bangsa. Sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian semester 1 di kelas 11, tak terasa empat tahun lebih waktu yang sudah mereka lalui bersama.
Sementara warung pinggir jalan Bu Ranum yang tak jauh dari SMU SatBa dan SMP mereka dahulu adalah tempat terbaik mereka ketika kelaparan akibat terkuras pikiran di sekolah. Warung ini pula menjadi saksi perjalanan mereka. Memang tak seperti makanan restoran mahal, tetapi rasanya mengalahi restoran bintang lima.
***
“Ibu Nairin pulang,” ujar Nairin setengah berteriak sembari melepas sepatu dan kaus kaki di bangku teras.
Pintu terbuka menampilkan anak laki-laki belia berumur sepuluh tahun. “Ibu lagi salat ashar,” katanya.
“Oh. Ayah belum pulang?” tanya Nairin sambil menyodorkan tangannya dan disambut dengan anak itu.
“Belum dong, Kak. Kan belum jam lima.”
Nairin mengangguk-angguk lalu menenteng sepatunya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya merangkul bahu anak itu masuk ke dalam.
Dia Pangeran Andana, adik satu-satunya yang Nairin punya. Masih kelas empat SD dan sangat manis serta penurut.
Keluarganya tidak sekaya Tian, tetapi sungguh membahagiakan berada di dalam keluarga ini. Ayahnya bekerja di kantor bagian properti dan cukup memliki jabatan. Sementara ibunya menerima pesanan makanan untuk acara-acara.
Bagi Nairin tak ada yang mengecewakan atas apa yang terjadi padanya di hidup ini. Dia senang dalam keluarga ini, dia senang punya saturasi sebelas.
Silakan takdir membolak-balikkan dunianya, tak peduli berapa kali dia terjatuh dia akan tetap bangun lagi. Dia percaya selama hidup luka adalah sebuah kepastian, tetapi tak ada luka yang tak sembuh jika bukan itu adalah akhirnya, kan?
...
Yeay!
Selamat menyelami kisah Saturasi Sebelas:)
Sampai bertemu di bab ke 2 dari 11.11 AM!
Luv,
Nunik
KAMU SEDANG MEMBACA
11.11 AM
Teen FictionAlka, Nairin, Tian, Harsa, dan Inisya. Mereka bersahabat sejak SMP, bagaikan saudara sedarah yang begitu banyak melewati suka dan duka perkara tinggal di Bumi. Hampir tak pernah meninggalkan meski selangkah saja, selalu saling menggenggam dan mencip...