16 - Debat Heboh

514 116 38
                                    

Saat sesi pertanyaan dibuka, ada seorang siswa yang dipaksa berdiri di tengah lapangan dengan didorong-dorong. Begitu pertanyaannya seputar Feri dan Eirin, dua anggota OSIS yang berpacaran lalu "kecelakaan" terdengar, sontak satu halaman ricuh.

Gebi berlutut. "Satu sekolah kalau udah bahas kasus Eirin itu pasti heboh ya. Kayak OSIS citranya udah jelek di mata kakak kelas. Kak Gardi pasti kena sindir lagi."

Chelsea ikut berlutut untuk melihat keributan di barisan depan. "Sejauh ini, itu kasus terparahnya OSIS, sih. Wajar kalau satu sekolah heboh banget."

"Ngeri juga, sih, anak SMA ampe aborsi dua kali. Untung yang kedua ketahuan sama orang, selamat dia." Gebi menunduk, mengingat teman semasa SMP-nya yang sangat ceria itu.

"Hah?" Willa menutup komiknya, tertarik untuk membahas hal ini. "Aborsi?"

"Lo tau nggak kasusnya? Itu loh, Feri ketua koordinatornya seksi bidang dua. Pacaran sama Eirin si anggota seksi bidang tiga, mereka nganu. Bablas dua kali. Hamil si Eirin," jelas Gebi.

"Eirin yang lo bilang suka bully lo pas SMP?" Willa melepas kacamatanya dan melihat ke pemandangan heboh di barisan depan lapangan. "Oh, kakak kelas lagi heboh protes anak OSIS yang saling pacaran."

"Iya Eirin yang suka bully gue." Gebi kembali mendudukkan diri di lapangan. "Cuy, kayak apa ya keadaan dia sekarang? Mentalnya itu loh. Mana si Feri yang harusnya jadi bapak anaknya bunuh diri lagi."

"Loh iya? Innalillahi." Willa melotot. "Bisa-bisanya gue nggak tau."

"Yeee, lo kesibukan baca. Berita meninggalnya baru seminggu yang lalu."

Chelsea ikut menyimak. "Pantes, sih, kakak kelas di depan heboh bener bahas itu. Sampai suaranya Wilson nggak kedengeran."

"Loh, kok, Wilson yang diprotes?" Will refleks bertanya. Pikiran negatifnya terbang terlalu jauh. Apakah Wilson termasuk orang yang terlibat dalam kasus itu?

"Kakak kelas protes, tahun ini aturan OSIS ke anggotanya harus lebih baik. Jangan sampai kayak yang udah terjadi. Mereka nggak terima kalau OSIS tegas ke orang sekolah aja, sedangkan mereka lalai ke anggota sendiri kayak kasusnya Eirin," jelas Chelsea, "yang diprotes bukan cuma Wilson, sih. Semua kandidat."

Willa akhirnya berdiri dari posisi duduknya. Ingin melihat keributan kakak kelas yang sedari tadi sudah berdiri, bertanya, protes, dan berteriak ke para kandidat sampai menutupi pandangan siswa barisan belakang. Kehebohan pun semakin meningkat.

"Kok jadi kayak aksi demo dadakan?" Willa menggelengkan kepala. "Aturannya yang diprotesin itu jangan kandidat calonnya dong."

"Ehem, belain Wilson." Gebi menegur.

"Ya gimana ya? Kasian tau." Willa melangkah maju. "Diteriakin ampe kayak satu OSIS salah semua. Padahal, kan, yang salah si Eirin sama Ferinya. OSIS dibawa-bawa, padahal mereka tugas mereka juga seabrek."

"Yah, gimana ya." Gebi menggaruk tengkuk. "Entahlah, bodo amat gue, dah. Mereka aja yang maju protes."

"Gini aja sudah!" Ibu Kania, yang menjadi salah satu juri debat OSIS kali ini bersuara menggunakan microphone yang sudah diganti baterainya. Beliau berdiri di tengah-tengah keributan siswa. "Semua anggota OSIS akan mencontohkan yang baik, bukan? Kalau begitu, ibu setujui aturan baru saja, sesuai saran dari Gardi, anggota OSIS seterusnya dilarang berpacaran, baik sesama anggota maupun siswa sekolah lainnya. Bagaimana, setuju?"

"SETUJU!" sahut seluruh siswa.

"Oke, bagaimana dengan pendapat kandidat calon nomor dua?" Bu Kania tiba-tiba bertanya ke Wilson.

Willa refleks mendudukkan diri lagi.

"Saya setuju saja dengan saran Ibu. Saya akan menjalankannya."

"Apa bukti kuat yang bisa meyakinkan kami untuk mempercayai ucapan lo itu?" Salah satu kakak kelas laki-laki berteriak keras, padahal belum diberikan kesempatan berbicara.

"Jika saya melanggar aturan baru yang Ibu Kania buat, saya siap turun dari jabatan ketua OSIS."

Wilson menjawab dengan lantang dan yakin pertanyaan yang diberikan Sebagai kandidat nomor dua, dengan wakil dari kelas 10 IPA 1, Ferdinand, sorakan dukungan untuk Wilson agar terpilih menjadi ketua OSIS terlihat unggul dari seluruh siswa.

"Beh, ada untungnya juga, sih, lo nolak Wilson, Will. Jaminannya jabatan, kayak meyakinkan banget udah," ungkap Gebi yang sempat tercengang dengan janji Wilson itu.

"Wilson harus pinter-pinter nahan perasaan," tambah Chelsea. "Kalau seandainya lo jadi pacarnya sekarang Will, mungkin lo harus siap-siap diputusin gara-gara aturan."

Karena Willa sudah menolak, maka Willa harus siap-siap membuang perasaan usang itu jauh-jauh karena aturan baru.

Kok gue nggak terima, sih? Willa refleks menahan napas.

= Because I'm Fake Nerd! =

Because I'm a Fake Nerd! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang