Willa meraih buku di atas meja belajar kamarnya. Galau. Itu yang dia rasakan semenjak melihat acara debat OSIS penuh drama tadi. Willa sedikit kesal dengan omongan Wilson demi menjamin janjinya sendiri pada sekolah.
Willa juga kesal dengan tingkah gegabahnya. Sok-sokan menolak Wilson padahal suka. Sok-sokan tidak mau berpacaran padahal sebelum ini dia adalah budak cinta akut bukan main, sebelum bertemu buku. Yah, mau bagaimana?
Kalau sudah bahas perasaan, Willa susah mengakui isi hatinya. Susah menerima apa yang dirinya inginkan sejak lama. Takut kembali menangis karena ditinggal laki-laki. Takut dibuat tak sadar realita dan mendadak bodoh lagi. Itu saja ketakutan terbesarnya.
"Kok gue malah nyesel, sih, nolak Wilson?" Willa protes pada dirinya sendiri, kontan mengacak rambutnya yang tergerai. "Wilson, Wilson, kenapa lo bodoh bener, sih? Nembak gue di waktu gue udah males sama cowok. Kayak, kayak, kenapa nggak dari dulu sebelum kita masuk SMA gitu, loh?! Kan, jadi tarik ulur, kan!"
Willa membanting dirinya ke kasur. "Susahnya friendzone tetangga yang udah dari kelas 1 SMP main bareng gini, dah. Coba dulu gue nggak les semua pelajaran di tempat Mba Ita ya? Mungkin kita nggak bakal deket."
Willa dekat dengan Wilson dimulai saat mereka les untuk menguasai semua materi SMP di rumah salah satu guru muda, kerap dipanggil Mba Ita.
Saat itu Willa masih berumur dua belas tahun, baru masuk SMP. Sebab dia memiliki pengetahuan yang kurang seputar sekolah dan selalu dibantu kedua kakaknya dalam mengerjakan tugas, orang tua Willa akhirnya mencoba membuat anak mereka mandiri tanpa dibantu kakak-kakaknya. Dimulai dari les.
Willa memang memiliki dua kakak kembar tak seiras, berbeda jenis kelamin. Yang laki-laki jago di bidang perhitungan, yang perempuan jago di bidang literasi, sedangkan ibu Willa jago di bidang seni, ayahnya jago di bidang konstruksi. Willa beda sendiri, belum menemukan jati diri.
Di saat satu keluarga adalah pecinta buku, Willa beda sendiri, pecinta ponsel yang memiliki banyak aplikasi permainan. Contohnya Pou, Subway Surfers, Star Girl, dan lain-lain.
Willa ingat saat dirinya diantar oleh kakak perempuannya, bernama Clafara ke tempat les Mba Ita.
"Masuk sudah sana!" titah Clafara pada adiknya yang memasang wajah ketakutan itu. "Ih, manusia semua di dalam sana. Nggak usah takut coba!"
Willa kukuh tak mau melangkah masuk ke halaman rumah Mba Ita yang berada tepat di depan kantor kelurahan. Memerlukan waktu sekitar sepuluh menit dari rumah Willa untuk sampai ke sini. Untung saja Clafara mau mengantarkan dengan sepeda, kalau tidak, mungkin Willa akan disuruh jalan kaki atau berangkat sendiri.
Namun, semua orang rumah curiga, kalau Willa dibiarkan berangkat sendiri, nanti dia malah main ke rumah teman dan main ponsel bersama lagi, bukannya les.
Willa tak kenal dengan orang-orang di halaman rumah Mba Ita, enggan masuk.
"Cepetan Willa, sebelum dimulai. Itu, tuh, ada Mba Ita nungguin di depan rumah. Samperin sana, gue mau ke sekolah latihan drumband!" Clafara kesal sendiri melihat tingkah adiknya yang malah main ponsel. "Wilson!"
Anak laki-laki yang sedang duduk di bangku panjang rumah Mba Ita mendongak. "Ya?"
Clafara menyentil dahi adiknya. "Sana, ada Wilson, tuh!"
Willa menoleh. "Wilson, siapa?"
"Loh, tetangga ujung jalan pun lo nggak kenal? Ih, nyebelin anak ini. Kebanyakan main hape di rumah. Sana, cepetan! Wilson, tolong tarik Willa, sini!"
Wilson yang terbiasa diperintah itu iya-iya saja. Dia dan Mba Ita keluar dari teras rumah untuk menghampiri Willa.
"Willa, ayo masuk!" ajak Mba Ita dengan nada lembut. "Adek kamu jarang temenan sama orang baru ya, Fara?"
"Iya Mba, susah bergaul dia. Main hape terus. Masa sama Wilson aja nggak kenal padahal kita udah tetanggaan mau lima tahun."
Wilson kontan melirik Willa. "Loh, Kak Clafara punya adek?"
"Loh?" Mba Ita tertawa. "Bisa-bisanya saling nggak kenal. Kenalan dulu dong, namanya sama-sama Wil lagi awalannya."
Wilson menjulurkan tangan. "Wilson."
Willa menepis tangan Wilson, karena menganggu pandangannya ke ponsel. Dia sedang bermain Subway Surfers dan mendekati skor tertinggi.
"Kan!" Clafara menghela napas kasar. "Marahin aja Mba kalau anak ini main hape terus. Pamit dulu, Fara mau latihan drumband di sekolah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Mba Ita mengangguk dan ikut melambai begitu sepeda Clafara sudah menjauh.
Wilson kontan merebut ponsel Willa. "Nanti main bareng. Sekarang belajar dulu," katanya sambil mengusap poni ke belakang.
Willa tak protes, hanya menatap Wilson tak suka. "Dih, sok ganteng," hujatnya tiba-tiba.
Mba Ita tertawa lagi. "Nggak boleh begitu Willa. Niat Wilson baik, loh. Ayo, Willa, masuk!"
"Iya Mba, males sama orang yang sok ganteng kayak dia." Tiba-tiba saja Willa mau diajak masuk ke dalam halaman rumah.
Ya, anak itu sengaja membuat kakaknya kesal dengan membangkang. Padahal, aslinya Willa berani saja masuk ke rumah Mba Ita. Dia hanya iseng membuat Clafara emosi.
Willa tertawa mengingat momen itu. Bisa-bisanya dia mengatakan Wilson sok ganteng padahal sejak dulu lelaki berambut hitam legam itu memang ganteng.
Lihat sekarang, anak dua belas tahun yang kecanduan bermain Subway Surfers itu malah termakan omongan sendiri.
= Because I'm Fake Nerd! =
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm a Fake Nerd!
Fiksi RemajaWillana Miranika, si gadis halu yang suka baca buku. Minimal, sehari dia bisa membaca tiga buku sampai selesai. Kerjaannya halu dan selalu bilang, "Seandainya begini, seandainya begitu." Wilson Mardagasa wakil ketua OSIS yang sebentar lagi akan dica...