Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Jam pelajaran dimulai kembali setelah istirahat lumayan panjang. Ale masih melamun meski guru memerintah seluruh anak untuk segera mengerjakan tugas mereka. Pandangan kosong lurusnya ke papan tulis, Ale benar-benar tak mendengarkan sepatah kata pun dari sang guru. Ale menguap, menjatuhkan kepalanya di atas meja tanpa sadar. Hira meneguk ludahnya, dia hanya bisa mengusap dada saja. Jam berlalu, sudah masuk jam berikutnya dan Ale masih tertidur pulas di atas meja tak pedulikan guru yang berkali-kali mencatat namanya pada buku catatan.
“Jadi apa kesimpulan dari pelajar hari ini, anak-anak?” tanya sang guru seraya menyapu pandangannya ke segala arah.
Ale mengangkat tangannya, dengan wajah segar dia tersenyum. “Belajar dari kisah Aladdin, meski diberi tiga kebebasan untuk meminta, tetap aja manusia harus berusaha. Sebab, Jin pun nggak sanggup mengubah hati putri Jasmin untuk Aladdin. Begitupun manusia, hatinya nggak bisa berubah tanpa ada niat untuk berubah atau merubah,” ucap Ale sambil menatap sendu.
“Lantas kapan kamu akan berubah, Al?” Ibu guru berkomentar dingin.
“Kalaupun diberi kebebasan untuk berubah, aku nggak akan berubah, Bu. Aku suka jadi Ale.”
Sang guru tersenyum hangat, lalu mengangguk sederhana. “Kamu tidur aja bisa menjawab pertanyaan Ibu dengan baik, apalagi kalau melek. Ibu harap, satu hari nanti kamu bisa membuka matamu menyaksikan papan proyektor menyala selama hampir sembilan puluh menit di kelas ini,” tuturnya dengan bijaksana.
Ale hanya tersenyum dingin, bukan tidak niat hanya saja kelelahan setelah membaca evaluasi grup Line dari para senior.
Hira melirik Ale, padahal tadi pagi wajahnya sangat sangat ceria bahkan tertawa bersama-sama, sekarang begitu kusutnya, wajahnya mendadak kusut bukan main. Gadis itu meraih ponselnya yang diletakan di kolong meja. Mengirimi beberapa pesan gambar untuk sang sahabat, kemudian menoleh lagi pada Ale yang sudah menatapnya dengan senyum hangat. Bibir Ale bergerak pelan, terdengar syahdu suaranya tatkala berkata, “Makasih, Ra.”
Hira mengangguk senang.
Bel pulang berbunyi, tepat pada pukul empat. Sebab setelah rapat seluruh pembina ekstrakurikuler akan lebih baik jika jam dipangkas. Apalagi menuju Komka, anak-anak jadi punya jadwal latihan intensif tambahan.
Ale mengganti seragamnya dengan seragam latihan, beberapa perlengkapan latihan memukul pun sudah dirinya siapkan bersama anak-anak lainnya. Ale tampak bahagia, Hira dengan serius duduk di tepi lapangan dengan earphone pemberiannya bulan lalu saat uang latihan cair. “Emm kalian lari dulu, ya, gua mau ke kamar mandi!” titah Ale buru-buru.
Kakinya berlari menuju kamar mandi belakang kantin, sembari celingukkan sana-sini berharap Hira menangkap radar kepergiannya dari lapangan. Tetapi sepertinya gadis itu sibuk bersenandung di tempatnya duduk. Ale terdiam sambil menatap wajah Hira dari samping, angin yang tiupkan helai-helai rambut sebahunya membuat gadis itu tampak semakin cantik. Hira menoleh; Ale segera memalingkan wajahnya sembari tersenyum canggung, merasakan dadanya seperti digelitk banyak semut kecil. Ale berdecak, “Dia selalu aja bikin gua ngerasa tertekan dengan paras cantiknya.” Ale bergegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]
Novela JuvenilOPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021 [Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021] Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara. Singkatnya begini, walaupun pertikaian...