TIME: PAST
---
Alin meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama musik yang terlantun. Jam pelajaran ketiga sudah dimulai, namun gadis itu memilih bolos dan mengulang gerakan yang ia pelajari dari channel youtube yang baru ia tonton tadi ketika jam istirahat berlangsung.
Meski ia tidak punya sepatu skating dan tempat latihan yang layak, gadis itu masih mencoba untuk menggunakan sepatu roda yang ia beli dengan uang jajan yang ia tabung. Untuk membeli sepatu skating yang asli dirinya belum mampu. Oleh karena itu ia menyisihkan uang jajannya untuk membeli sepatu roda.
Bagi Alin, keduanya sedikit mirip meskipun tidak serupa. Tidak apa-apa yang penting Alin masih bisa belajar ice skating.
Lagu can't help falling in love menggema memenuhi ruangan GOR mini itu. Alin berputar, dan meliukkan tangannya di udara. Sesekali gadis itu mengangkat satu kakinya hingga sejajar dengan kepalanya, kemudian kembali beputar.
Tiba-tiba tubuhnya kehilangan keseimbangan, gadis itu panik hingga kemudian terjatuh membentur lantai.
"ARGH!" Alin mengerang kesakitan.
Gadis itu mencoba bangkit namun kakinya keseleo. Ia meringis kesakitan.
"Sakit banget." Lirihnya.
Alin mengurut kakinya yang membiru dan membengkak. Ini tidak tertolong, pikirnya.
Gadis itu kemudian mulai menyeret tubuhnya di lantai, hingga kemudian ia mendengar suara hentakan kaki yang mendekatinya. Gadis itu mendongak, mendapati tubuh jangkung yang familiar dihadapannya.
Daksa itu kemudian berjongkok didepan Alin, membuat gadis itu semakin keheranan.
"Ayo naik," ujarnya.
"Apaan si, pergi lo!" hardiknya tak suka.
"Ini bukan waktunya jual mahal, niat gue cuma mau bantu lo doang,"
"gue bisa sendiri," ujar Alin acuh.
Terdengar helaan nafas, daksa itu kemudian berbalik ke hadapan Alin, kali ini gadis itu bisa mellihat dengan jelas wajah lelaki dihadapannya.
Siapa tadi namanya? Nalan? Nayan? Ayan? Siapa sih?
Pikirannya berkecamuk mencoba mengingat nama lelaki dihadapannya.
"Nathan, Nathaniel Gavindra," seru lelaki itu.
"hah?"
"Lo pasti lupa nama gue, sekalian aja kenalan ulang,"
Alin tidak menggubris, gadis itu kemudian menyeret kembali tubuhnya, mencari tembok untuk berpegangan agar bisa berdiri.
"lo lagi kosplei jadi suster ngesot?"
Alin tidak menjawab.
"Padahal niat gue mau bantu," ucapnya lagi.
Alin masih diam tak merespon.
Nathan kemudian memutar kedua bola matanya jengah, dengan gerakan cepat ia berjongkok dihadapan Alin, mengambil kedua tangan gadis itu kemudian dikaitkan di lehernya. Nathan bangun dan berjalan dengan cepat.
"Lepasin gak! LO GAK SOPAN! SIAPA YANG SURUH LO SENTUH TUBUH GUE TANPA IZIN! LEPASIN BRENGSEK!" Alin meracau sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya.
Namun bagaimanapun usahanya pasti akan sia-sia, Nathan benar-benar menggendong gadis itu menuju UKS. Beruntung jam pelajaran sedang berlangsung, sehingga tidak ada orang yang akan melihat mereka.
Sesampainya di UKS, Nathan mendudukkan Alin diatas ranjang. Kini Alin tidak memberontak lagi, tenaganya sebenarnya sudah habis. Gadis itu kelihatan sangat lelah.
Nathan menggulung celana training yang digunakan Alin sampai ke betis, lelaki itu kemudian membuka sepatu roda Alin dan meletakkannya di sisi ranjang.
"Gue mau minta izin, buka kaos kaki lo boleh?" tanyanya menatap Alin meminta persetujuan.
Tadi gendong gue gak nanya-nanya, sekarang malah nanya.
Alin menunduk sembari mengangguk kecil.
Nathan membuka kaus kaki putih gading milik Alin, matanya membulat ketika melihat telapak kaki Alin yang luka dengan darah yang sudah mengering, serta tumitnya yang membengkak akibat terjatuh tadi.
"Ini pasti gara-gara lo gak pake sepatu tadi kan?" tanya Nathan mengkonfirmasi.
Alin bungkam, tidak berminat menjawab Nathan.
Lelaki itu menghela nafas lagi, berhadapan dengan Alin membuatnya menghela nafas terus menerus. Ia kemudian bangkit menuju lemari gantung yang berisi obat-obatan, Nathan mengambil antiseptik dan betadine untuk mengobati luka Alin.
Gadis itu meringis ketika Nathan mengoleskan salep luka dibagian lukanya yang sudah mengering.
"Tahan sedikit, jangan manja," ujar Nathan.
Tetapi gadis itu tidak bisa menutupi perih yang ia rasakan, Alin kembali meringis kesakitan.
Melihat hal itu, Nathan kemudian menyodorkan sebuah saputangan putih ke hadapan Alin.
"gigit ini aja kalau sakit,"
Alin menurut dan menggigit saputangan itu.
Tidak sampai lima menit, Nathan sudah membalut kaki Alin dengan rapi. Kini lelaki itu mengompres kaki Alin yang membengkak dengan es batu yang tersedia di refrigerator UKS.
"Biar gue aja, lo udah bisa balik ke kelas," pungkas Alin tidak ingin merepotkan lebih jauh.
"Beneran? Gapapa?"
"kalau kenapa-napa kan juga bukan urusan lo,"
Nathan mengulum bibirnya, "Oke, kalau gitu gue balik ke kelas,"
Lelaki itu kemudian bangkit dari tempat duduknya. Ia lalu melepaskan sepatu sekolah miliknya.
" maksud lo apa lepas sepatu?"
" pake ini untuk pulang nanti, gue bawa dua sepatu kok,"
" Hah? Apaan sih? Gue gamau!"
" Kalau menurut lo kaki lo adalah asset yang berharga, pake ini, sebelum kaki lo makin parah sakitnya," ujar Nathan.
Lelaki itu kemudian meninggalkan Alin menuju kelas dengan menggunakan sandal karet milik UKS. Alin memperhatikan tubuh jangkung itu dari belakang,
Dasar aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nathaniel
FanfictionAlin pikir memiliki karir yang sukses, tunangan yang mapan, dan prestasi yang gemilang merupakan puncak kejayaan dari kehidupannya. Namun kilas balik memori yang terkubur dalam ingatannya dibuka secara paksa untuk mengingat seorang lelaki bernama Na...