Hari yang melelahkan namun begitu menggembirakan ini akhirnya berakhir saat adzan maghrib berkumandang. Resepsinya memang diselenggarakan dari pagi sampai sore. Sedangkan malam harinya akan dilaksanakan pengajian. Beberapa kerabat dan tetangga yang rumahnya dekat kembali ke rumah masing-masing untuk membersihkan diri sekaligus mengistirahatkan tubuh setelah seharian sibuk berkutat dengan tugas masing-masing. Juga untuk mempersiapkan diri menyambut acara berikutnya.
Tak terkecuali Aina. Setelah semua tamu pamit pulang, dia kembali ke kamarnya lalu segera mengambil handuk dan mandi. Tubuhnya benar-benar butuh air dingin sekarang. Selesai mandi dan menunaikan sholat maghrib, Aina kembali bersiap untuk pengajian yang akan dilaksanakan setelah isya’.
“Aina, makan dulu sana. Nanti kalau pengajiannya dimulai kamu tak akan ada waktu untuk makan,” tegur Bunda saat Aina sedang menata makanan untuk disajikan nanti.
“Sebentar lagi, Bun,” jawabnya masih dengan menata piring-piring di meja.
Saking sibuknya, dia sampai lupa kalau seharian ini dia belum makan. Jadi, begitu selesai menata makanan di meja, dia segera melangkah menuju dapur berniat mengambil makan malamnya. Namun, niatnya dia urungkan ketika melihat ibu-ibu yang bertugas menyiapkan tentengan untuk bekal para tamu nanti sedang berkumpul. Dengan malas dia memutar langkah dan kembali ke ruang tamu.
Dia enggan bertemu dengan ibu-ibu di dapur tadi. Tentu untuk menghindari mendengar pertanyaan kapan menikah untuk yang entah ke berapa kali dalam sehari. Untung saja di ruang tamu, dia melihat salah satu sepupunya sepertinya akan ke dapur.
“Yu, mau ke dapur?” tanyanya membuat langkah sepupunya berhenti.
“Iya. Kenapa?”
“Tolong ambilkan aku makan dong. Nanti bawa kesini ya?” ujarnya sambil memasang wajah memelas.
“Kenapa tidak ambil sendiri sih?” sepertinya sepupunya itu tidak suka disuruh-suruh.
“Ayolah Ayu, tolong aku. Di dapur banyak ibu-ibu yang sedang bergosip. Aku malas bertemu mereka.”
“Ahh, kamu takut ditanya kapan nikah?” Sial! Tebakannya tepat. Aina hanya menjawabnya dengan gumaman samar. Terdengar tawa mengejek dari mulut sepupunya itu. Menyebalkan!
“Ahaha baiklah, aku ambilkan. Tunggu disini,” jawab Ayu kemudian melangkah ke dapur meninggalkan Aina yang memberengut kesal.
//
Aina terbangun dengan keringat membasahi pelipisnya saat mimpi buruk itu kembali datang. Ia meraih ponsel di atas nakas dan melirik jam sekilas. Masih jam 2 dini hari ternyata.
Hampir setiap hari Aina selalu bermimpi buruk. Namun biasanya mimpi itu tidak datang mengganggunya jika tubuhnya terlalu lelah dan menuntut istirahat lebih. Itu sebabnya dia selalu berusaha membuat tubuhnya lelah dengan berbagai kegiatan setiap hari.
Tapi kenapa malam ini dia bermimpi buruk lagi? Padahal tubuhnya benar-benar lelah dan sangat butuh tidur berkualitas setelah seharian disibukkan dengan pernikahan adiknya. Pengajiannya memang selesai jam 10 malam namun Aina baru bisa terlelap jam 1 dini hari. Dan baru satu jam tertidur dia sudah bangun karena mimpi buruk menyebalkan itu. Ya Tuhan!
Aina keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering. Dia melangkah perlahan karena seluruh ruangan terasa terlalu gelap bagi penglihatannya yang masih setengah sadar. Hampir semua lampu di rumah itu dimatikan. Hanya seberkas cahaya dari lampu dapur yang memang sengaja dinyalakan yang menjadi penolong netranya. Semakin mendekati dapur, penglihatannya semakin jelas. Dia bisa berjalan dengan tenang tanpa takut menabrak sesuatu.
Langkahnya tiba-tiba terhenti saat hampir melewati kamar tamu yang sekarang dijadikan sebagai kamar pengantin. Terdengar suara tak asing dari dalam kamar. Suara desahan dan erangan tertahan itu membuat bulu kuduknya merinding. Mungkin bagi orang lain yang mendengarnya, itu adalah hal wajar mengingat malam ini adalah malam pertama bagi pemilik kamar. Namun, bagi Aina, bagi seseorang seperti Aina, suara itu terdengar sangat mengerikan. Buru-buru dia menutup kedua telinga supaya suara itu tak lagi terdengar dan mempercepat langkahnya menuju dapur.
Sampai di dapur, dia segera menenggak habis air dalam botol yang diambilnya dari lemari es untuk menenangkan diri. Jantungnya masih berdegup kencang dan tangannya bahkan gemetaran. Dia kembali teringat mimpi buruknya tadi.
Apa karena itu aku jadi bermimpi buruk malam ini? Tanyanya dalam hati.
Buru-buru dia menggelengkan kepala, menyingkirkan segala pikiran buruk yang ada di otaknya. Setelah merasa lebih tenang, dia segera mengambil wudhu. Sepertinya beribadah bisa membantu menenangkan hatinya yang gelisah malam ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]
RomansaWarning : 18+ (Beberapa part berisi konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan) SEBAGIAN BESAR PART TELAH DIHAPUS. PINDAH KE GOODNOVEL UNTUK BACA SELENGKAPNYA. * Tak pernah terlintas di benak Aina Zavira bahwa dia akan menikah, apalagi dengan laki...