BAB 4 - Tuan Abrata

588 46 0
                                    

Batavia Centraal Ziekenhuis dipenuhi oleh pasien yang terus berdatangan silih berganti. Akhir pekan, merupakan hari yang tepat bagi para pasien itu untuk berebut banker di pusat gawat darurat dan menjadi tempat perkumpulan mereka. Minggu ini mungkin sedikit berbeda dengan minggu lainnya, karena Batavia Centraal Ziekenhuis mendapatkan pasien kiriman dari medan perang.

Satu-satunya rumah sakit besar di Hindia Belanda dan satu-satnya rumah sakit yang memiliki fasilitas seperti rumah sakit di Eropa, Batavia Centraal Ziekenhuis menjadi tumpuan bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan pertama dan membutuhkan kesembuhan.

Aghnia berlari, membawa dua kantong merah berisi darah segar yang baru saja ia ambil di unit transfusi darah, melangkahkan kakinya dengan lebar melewati lorong-lorong sempit yang di sesaki para keluarga korban dan orang-orang yang sibuk bertanya bagaimana kondisi pasien. Aghnia tidak boleh mengeluh, tentu saja ia tidak boleh, kapan lagi Aghnia akan merasakan begitu padat jika bukan akhir pekan, itu baik untuk kesehatan pikirannya.

Aghnia menendang sanggahan pintu dengan kencang sehingga perawat yang bertugas dapat mengambil kantong darahnya, seketika Aghnia merasakan terpaan angin dingin dari pendingin usang di sudut ruangan. Aghnia berdiri di depan pintu kamar operasi dan hanya melihat dokter utama yang sedang berjuang menyelamatkan pasiennya, ditemani dengan dokter anestesi yang terus memantau kondisi vital dari monitor kecil.

Aghnia mendesah, bersandar di dinding dan memejamkan matanya perlahan, meremas rambutnya yang ditutupi oleh penutup kepala dan mencampak penutup itu sembarang.

"Aghnia?"

Aghnia menengadahkan pandangannya, segera dia berdiri dan menunduk sopan. "Profesor," balasnya santun.

"Apa yang kamu lakukan di luar sini? Bukankah seharusnya kamu di dalam?" tanya professor itu dengan heran.

Aghnia menunduk meminta maaf, tanpa sadar air matanya menetes, Aghnia menepisnya dan berusaha tersenyum kepada atasannya. "Maaf Prof, saya-"

"Tidak apa-apa, Dokter Raditya memang suka mengeluarkan zuster  dari ruangannya." Professor itu tertawa pelan. "Bagaimana jika kamu mengikuti operasiku, besok? Apakah kamu sibuk, besok?"

Aghnia menatap Profesornya dengan membulat, sekencang mungkin dia menggeleng, dia tidak akan menyiakan kesempatan belajar langsung dari profesornya. "Saya tidak sibuk, sama sekali."

"Baiklah, ikut saya. Kita akan membicarakannya bersama dengan yang lainnya." Aghnia mengangguk dan mengucapkan terima kasih tanpa henti.

Masih dengan baju operasinya yang bewarna hijau, konon katanya warma hijau dapat membuat mata menjadi segar pada saat tubuh seseorang terbuka dan memperlihatkan darah segar yang berkubang di sana. Aghnia mengikuti setiap langkah Sang Profesor dengan kaku.

Aghnia adalah satu-satunya perawat terampil, seorang wanita pribumi di Batavia Centraal Ziekenhuis. Dia telah mengikuti masa pelatihan di medan perang dan beberapa tahun yang lalu diterima di Batavia. Wanita yang berjiwa tangguh, dia tidak takut sama sekali dengan patriarki para pria yang selalu mengintimidasinya. Tujuannya hanya satu, membantu yang sakit.

"Aghnia, apakah kamu sudah menikah?" tanya Profesor itu kepada Aghnia, melihat ekspresi Aghnia yang terkejut dan rawut wajahnya menegang, Profesor Yislam tertawa keras. "Kamu tidak perlu menjawab, jika tidak ingin."

"Tidak Prof, saya belum menikah," jawabnya pelan. Semoga saja Profesor Yislam tidak mengulik jawabannya.

"Benarkah? Apa kamu tidak mengikuti ajang perjodohan yang diadakan oleh Ratu Isyana?"

Aghnia menggeleng, "Bukankah itu dikhususkan untuk wanita bangsawan, Prof? Aku bukanlah siapa-siapa, dan aku tidak layak lagi mengikuti ajang tersebut mengingat umurku yang akan memasuki kepala tiga."

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang