“AKIBAT kekacauan yang kau lakukan, saya terpaksa memberikanmu detensi selama 10 hari dan pengurangan point asrama sebanyak 60 point.”
Levi memberengut, tetapi mulutnya ingin sekali tertawa. Selama hampir satu jam ia diceramahi Miss Elafir. Ia sempat kaget wanita itu dapat marah seperti monster. Jauh dari kepribadian sesosok elf yang ia ketahui dan tertulis di buku-buku dongeng. Dari sana ia beranggapan bahwa yang sudah tertulis belum tentu benar sepenuhnya. Mr. Navarro sempat datang dan mencerahaminya juga. Entah kenapa, Levi merasakan sensasi yang berbeda. Meskipun Miss Elafir semurka itu, Mr. Navarro terkesan lebih mengintimidasi. Bahkan tadi, ia bersusah payah menahan gelak tawa saat Mrs. Elafir mendengkus. Mengingatkan pada neneknya yang selalu mengomel perihal handuk yang diletakkan sembarang tempat.
Ia menyusuri koridor dengan langkah gontai, sesekali bersiul sumbang. Beberapa anak yang lewat berbisik-bisik sembari memandangnya dengan tatapan yang tidak mengenakan. Levi menantangi mereka sambil nyengir kuda, lalu dengan tiba-tiba menggeram seakan ingin menerkam, membuat beberapa anak perempuan itu memekik dan menjauh. Setelah itu, Levi pergi dari sana sambil tertawa puas. Mengapa perempuan selalu senang menggosip, sih? pikirnya.
“Ngomong-ngomong, aku kan baru saja kena detensi, nih. Enaknya ngapain, ya?” tanya Levi pada angin. Ia menekan-nekan keningnya dengan telunjuk yang terbungkus sarung tangan khusus alkimia dan lagi-lagi mengerang. “Pasti bakal bosan banget! Lagipula aku juga sedang malas meramu senyawa. Apa mungkin pergi ke Gingkoforest? Kayaknya melakukan percobaan di sana bakal—“ Levi mendadak berhenti berbicara. Segera mungkin ia mengeluarkan buku catatan kecil dari tas jinjingnya karena baru saja teringat kata-kata terakhir Mr. Navarro saat diceramahi. “Pak Tua itu bilang kalau aku tidak hanya kena detensi. Katanya ada orang yang akan menungguku di sekitar halaman belakang sekolah. Oke, catat dulu.”
Levi menuliskan ‘Detensi Ternyata Tidak Buruk Juga’ besar-besar lalu menggaris bawahi kalimat itu. Ia mulai berjalan kembali tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Di catatan itu, Levi juga menambahkan daftar kegiatan yang menurutnya luar biasa. Kemudian, ia mempertimbangkan untuk menyisakan satu hari libur agar bisa berduaan dengan Lily James. Perempuan itu pernah berkata kalau ia ingin menanam tumbuhan unik di Gingkoforest. Meskipun kedengaran sangat murahan, tapi apa pun yang berhubungan dengan Lily James perlu diapresiasi. “Oh iya, Lily apa kabar, ya? Semoga dia tidak marah karena aku meleburkan tanah halaman ini. Hahaha ….”
Masih berkomat-kamit dengan rencana-rencana yang ingin direalisasikan, tanpa sadar Levi menendang kaki milik seseorang. Ia tersentak sesaat dan hampir saja mencium tanah. Ia meraung kesal kepada pemilik kaki yang terjulur itu. Sungguh tidak sopan membuat seorang Levi Strauss terjatuh. Namun, begitu sadar yang ia marahi adalah Thann dan Addison, Levi memiringkan kepala. Kedua anak itu tampak menyedihkan dengan raut wajah sendu. “Cih, mungkin galau karena ditolak perempuan. Dasar anak muda. Kerjaannya hanya mencari cinta.”
Tanpa memerdulikan kedua siswa itu lagi, Levi mengangkut tas jinjingnya dan terus melanjutkan jalan hingga ia sadar sudah berada di ujung halaman belakang sekolah. Levi memandang sekeliling, tetapi ia tidak melihat siapa-siapa. “Mana orang yang menunggu itu? Kok, tidak ada? Wah! Apa mungkin kepala sekolah mempermainkanku? Tidak bisa dibiar—“ ujarnya terhenti memikirkan kalimat penutup. “Enggak, sih, enggak!” seketika Levi terbayang wajah Mr. Navarro yang mengintimidasi.
Pada akhirnya, Levi memutuskan untuk duduk di kursi dari batu yang tak jauh dari sana. Ia merenung sambil memandang sarung tangan alkimia peninggalan ayahnya. Kenangan masa lalu datang di saat yang tidak tepat. Di atas kepalanya sudah berputar memori kematian ibunya yang menyedihkan dan hilangnya sang ayah saat urusan saintis di suatu daerah yang jauh. Sampai detik ini, Levi masih mengingat pesan sang ayah, bahwa ia pasti akan menjadi ilmuan hebat. Saat itu, ayahnya mengatakan sambil tertawa terbahak-bahak. Entah itu bercanda atau hanya ingin menyenangkan hatinya, bagaimanapun pesan itu akan terus diingatnya. Mendadak, Levi tertawa lagi. “Aku kelihatan culun kalau sedih begini, ya?”
“Rada-rada, sih!”
Mendengar omongannya ditanggapi, Levi kaget bukan main. Ketika pandangannya masih mengarah ke tanah, ia melihat sebuah bayangan besar memiliki sayap serupa malaikat berasal dari belakang. Insting Levi mengatakan bahwa ia dalam bahaya. Secepat mungkin anak itu menjauh dari kursi batu dan bersiaga. “Siapa?”
“Wow, aku mengagetkanmu, ya?”
Pria yang berwibawa. Tubuhnya menjulang tinggi dan kelihatan seperti raja. Rambutnya hitam kelam dibentuk belah tengah. Kulitnya pucat serupa kulit orang mati. Pria itu menyapa dan memberikan senyum menawan, tetapi entah kenapa Levi merasakan adanya perasaan intimidasi seperti yang ia temukan pada kepala sekolah. Saat ini, orang misterius ini memakai setelan serba hitam. Levi memandanginya lama.
“Halo? Kenapa tiba-tiba diam? Oh, kamu pasti mengagumi setelanku. Wajar, sih,” ujarnya penuh percaya diri. Lagi-lagi ia menyeringai.
“Om, siapa ya? Aku tidak pernah lihat sebelumnya.”
Pria itu tersentak sesaat, kemudian menstabilkan diri dan tersenyum seramah mungkin. “Ah, benar. Perkenalkan, namaku Betelgeuse. Orang-orang di wilayahku memanggil dengan sebutan Lord of Darkness. Aku adalah seorang Lord. Teman lamanya Navarro,” jelasnya. “Kamu bisa memanggilku Lord Betelgeuse jika mau. Biar lebih dekat.” Setelah mengucapkan kalimat itu, ia mengedipkan mata.
“A-anda adalah… seorang raja dan bukannya vampir?”
Pria itu tergelak. Bahkan ketawanya terdengar menggelegar meskipun tidak kencang. “Saya membenci vampir asal kamu tahu. Mereka jorok dan suka mengisap darah. Bukan aku banget.”
Levi masih gugup saat berhadapan dengannya. “Itu berarti … Anda adalah orang yang dibilang kepala sekolah?”
Lord Betelgeuse menyeringai lebar sekali disertai anggukan. Levi menelan ludah, ia berpikir orang ini kelihatan seperti om-om mesum, tetapi dalam versi yang lebih tampan. “A-apa maksud Anda menemui saya?”
“Aku tadi sempat melihat aksimu yang nekat. Anti-mainstream sih, tapi kurang persiapan saja. Kalau tadi lebih rapi, aku sudah memberikan tepuk tangan yang meriah,” jelasnya. Lord Betelgeuse berjalan mengelilingi Levi yang dilanda kebingungan. Pria itu mengurut dagu, seakan sedang meneliti seluruh aspek dirinya. “Namun, kamu sudah cocok sebagai kriteria.”
“Kriteria apa?”
“Mau tahu banget?”
“Apa-apaan itu? Aku merasa seperti dipermainkan!” Levi berkata dengan nada tinggi. Ada raut kemarahan tergambar di wajahnya.
“Emosi juga tidak terkendali, ya? Tidak masalah sih,” lanjut pria itu. “Baiklah, seperti yang sudah disetujui Navarro, aku akan membawamu pergi sampai masa detensi berakhir.”
“Eh? Apa maksudnya? Mengapa Anda bisa tahu bahwa aku kena detensi?”
Lord Betelgeuse memainkan telunjuknya. “Jangan bawel Levi Strauss. Aku tahu ada banyak pertanyaan di otakmu sekarang, tapi tidak ada waktu untuk menjelaskan. Persiapkan segala kebutuhanmu karena kita akan berkelana jauh.”
“Berkelana ke—“
Pria itu memandang dengan sorot mata tajam, membuat Levi tidak jadi melanjutkan ucapannya. “Mencari serpihan asteroid emas di tempat yang tidak pernah terjamah.”
Seketika, mata Levi membelalak. Ia tahu ada kejadian besar yang menanti sebentar lagi. Dan itu artinya tidak ada kebosanan yang akan ia temukan selama sepuluh hari ke depan. Menarik!
Bukankah detensi kadang-kadang bisa jadi menyenangkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Levi Strauss and the Journey to the North-West (HIDDEN YEAR 1)
FantasiaTidak pernah terpikirkan oleh Levi kalau detensi yang ia terima setelah menyebabkan kekacauan dengan robot maid berbentuk rupa wakepsek akan berujung pada perjalanan yang tak terduga. Bersama penguasa Malice Island, Lord of Darkness, ia mulai menje...