05. Masjid An-Nur

43 22 6
                                    

Alka melihat cahaya keemasan tepat di hadapannya. Ia mengikuti gerak sinar itu yang terus berjalan lurus. Setelah mendapat bisikan serupa suara sang ayah, Alka makin bersemangat untuk keluar dari ruang sempit yang sudah dipenuhi oleh air. Alka baru sadar bahwa ia kini berada di bagian dalam mobil selepas kendaraan roda empat itu masuk ke sebuah bendungan yang lumayan dalam.

"Aku masih punya hutang salat. Kalau aku meninggal sekarang, siapa yang akan membayar?" Di sela rasa panik yang mendera, Alka mengingat kalau ia belum memenuhi kewajibannya pada Allah.

"Anakku belum ditemukan!" Alka mendengar dengan jelas teriakan dari sang ayah. Ia berusaha sekuat tenaga untuk terbebas dari tempat yang begitu pengap itu.

"Kalau aku nggak selamat. Ibuku gimana? Pasti sangat terpukul. Aku harus mencari cara untuk menyelamatkan diri."

Pada saat itulah Alka menangkap cahaya yang menggumpal di bagian depan mobil. Ia terus mengikuti cahaya itu sampai akhirnya ia menyembul ke permukaan. Lalu, ia mendengar suara orang-orang berteriak karena menyadari keberadaannya.

"Aaaaa...!" Alka seketika terduduk lemas di ranjang setelah mengalami mimpi buruk itu lagi. Reka adegan kecelakaan yang Alka alami selalu menjelma dalam mimpi. Bahkan, kejadiannya hampir tiap malam. Alka sampai hampir frustrasi.

"Astaghfirullah." Alka melafalkan istighfar berulang kali sembari meresapi napasnya yang tersengal dan seakan enggan berhenti.

"Baru jam dua," lirih Alka begitu melirik penunjuk waktu yang terletak di meja.

Setelah napasnya mulai berdetak normal, Alka segera turun dari ranjang. Lalu, tangannya meraih botol minuman yang berada di meja, yang memang ia persiapkan kalau saja mimpi mengerikan itu kembali terulang.

"Aku harus melepaskan beban ini. Aku nggak bisa terus-terusan dihantui perasaan trauma ini." Alka memantapkan diri untuk bisa pulih secepat mungkin.

***


"Bapak dan Ibu mau ke mana, Yuk?" Alka penasaran dengan sang pemilik kos itu. Ini hari minggu dan pagi-pagi sekali kedua orang itu sudah keluar rumah dengan menaiki motor. Berboncengan tentu saja.

"Ke Masjid Agung An-Nur, Al. Ada ngaji rutin tiap hari Sabtu-Minggu, kalau nggak salah. Itu untuk umum. Siapa saja boleh ikutan, kok." Isna menjelaskan.

Alka pun manggut-manggut tanda paham.

"Ayuk nggak pengin ikut?" pancing Alka. Sebenarnya, Alka yakin kalau Isna nggak akan mau. Apalagi, ini akhir pekan. Sudah dipastikan kalau gadis itu mempunyai rutinitas sendiri. Menerima telepon dari sang pujaan hati, misalnya.

"Nggak minat," jawab Alka singkat sambil tertawa.

Alka tak ingin memaksa. Meskipun, usahanya untuk melepaskan penat harus gagal.

"Jogging aja, yok!" ajak Alka yang langsung mendapat gelengan dari Isna.

Alhasil, Alka hanya menanyakan rute yang tepat untuk sampai ke Masjid An-Nur tersebut. Ia penasaran dengan kegiatan mengaji itu. Barangkali, mulai minggu depan, Alka tertarik untuk bergabung.

***


Setelah bersepeda selama kurang lebih sepuluh menit, Alka sampai di Masjid An-Nur. Ternyata, tidak sesulit itu menemukan sebuah pusat syi'ar Islam yang terbesar di kota Pare ini.

Dari kos Bunga Desa hanya mengikuti arah jalan raya. Memang ada beberapa belokan. Namun, Alka mengikuti instruksi temannya untuk terus menyusuri jalan yang ke arah kiri. Di jalan tadi, Alka melewati Garuda Park atau biasa disebut GP. Setelah itu, ia berbelok ke arah kiri. Sampai akhirnya ia menemukan bangunan yang menjulang tinggi, yang Alka ketahui sebagai Masjid An-Nur, tujuan utamanya.

IKHTARA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang