Hidupnya tak pernah menjadi baik. Sejauh yang mampu ia ingat, hidupnya tak pernah berjalan mulus.
Katanya, selalu ada pelangi sehabis hujan. Namun berbeda dengan yang terjadi pada hidupnya, deras air hujan seperti air bah yang menghantam wajah, sakit dan perih. Kemanapun kakinya melangkah, apapun jalan yang ia tapaki, hujan selalu berada telat di atas kepalanya, deras sekali.
Hidup dengan selalu berjuang, bertahan hidup seperti cara binatang. Tidak boleh menjadi lemah, kalau kau tidak ingin dijadikan santapan nikmat.
Lee Jeno mencoba bertahan disela-sela nafasnya yang terengah. Wajahnya yang bonyok dengan beberapa jejak darah. Serta tangannya yang sudah robek dibeberapa buku jariny.
Ia tidak boleh kalah.
Karena ketika ia kalah, maka tamatlah sudah. Semua sia-sia. Dua puluh lima tahun hidupnya akan percuma, bagaimana ia bertahan untuk mencapai usia ini akan hangus dalam satu jentikan jari.
Ia tidak boleh kalah.
Dalam hidupnya, kalah berarti mati.
"JENO, AYO SERANG!" pekikan itu terdengar dan Jeno rasanya ingin mengamuk.
Seandainya bisa, seandainya ia mampu.
Tubuhnya tak lagi bertenaga, kakinya gemetar dan Jeno seakan pasrah saat sang lawan maju menerjang.
Jika seandainya ia berakhir malam ini, setidaknya ia sudah berjuang.
Ia tidak menyerah pada kegelapan dan menyerahkan dirinya.
Setidaknya ia menjalani hidupnya dengan sebaik yang mampu ia lakukan.Semuanya terjadi begitu cepat. Lawan yang maju menerjang, suara bedebam keras dan kemudian sorakan penonton yang begitu heboh meneriakan namanya.
Jeno terbaring pada lantai arena. Nafasnya terengah-engah, matanya terpejam dan ia merasa melayang.
Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Apakah ia menang atau kalah?
"Jeno!" Jeno merasa seseorang menepuk pipinya, menamparnya dengan kuat. Namun ia tak lagi memiliki tenaga untuk membuka mata. Ia hanya ingin diam dan terpejam.
"Anjing, Jeno?!"
Jeno bergeming. Ia masih bisa merasakan nafasnya, sorakan orang-orang di dalam arena juga tepukan bertubi-tubi pada pipinya.
Namun tubuhnya lelah. Ia ingin beristirahat. Memejamkan mata dengan nyaman dan bermimpi indah.
Menuju tempat yang indah, di mana hanya ada taman bunga yang wangi. Makanan enak yang layak disantap. Rumah megah tanpa atap yang bocor. Kasur empuk tanpa membuat punggung sakit.
Ah, indahnya.
"JENO!"
—
"Lo bikin gue takut tau, ngga?" Jeno tidak menanggapi. Ia hanya asyik mengunyah burger murah yang dibelinya dari penjual di pinggir jalan. Harganya tidak lebih dari sepuluh ribu. Hanya berisi dua roti dan satu daging super tipis."Gue kira lo udah lewat." Lagi-lagi Jeno tidak menanggapi. Bibirnya masih asyik mengunyah, perutnya lapar dan ia kehabisan tenaga. Bibirnya sakit namun ia abaikan. Tidak apa-apa, dalam berapa hari semua akan baik-baik saja. Tubuhnya sudah beradaptasi, ini bukan yang pertama kali.
"Jen, gue ngomong sama lo," kata Lucas, membuang putung rokoknya sembarang dan menginjaknya keras. Menoleh pada Jeno yang masih saja mengabaikannya, membuat Lucas berdecak dengan tangan yang mengepal hendak meninju udara. Kalau saja ia sedang tidak dilanda khawatir pada Jeno, mungkin kepalannya ini sudab meninju tepat pada pipi kawan baiknya itu.
"Lo ngga liat gue lagi makan?" tanya Jeno, suaranya agak tidak jelas karena jejalan roti dalam mulutnya yang mengembung. Wajah Jeno terlihat lucu sekarang, tapi sungguh Lucas tidak bisa tertawa karena kepanikan dan kekhawatiran belum hilang sejak dua jam yang lalu.
Walau ia terbiasa melihat Jeno mengadu nyawa dalam ring, Lucas tidak akan pernah terbiasa melihat hasil akhir dari pertandingan itu. Bagaimana wajah kawannya menjadi bonyok dan membengkak. Jalannya yang pincang dengan tubuh yang dipenuhi lebam berwarna biru.
Jeno melirik pada Lucas yang menatapnya dengan wajah yang mengeras. Rahangnya mengetat dan kepalan tangannya tak juga mengendur. Jeno menghela nafas, cepat-cepat menyelesaikan makannya dan menegak air mineral banyak-banyak.
"Bukan pertama kalinya lo liat gue kayak gini, Kas." Jeno menepuk pundak Lucas dua kali, kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sekotak rokok dan satu pematik murah. Menyulut satu batang kemudian diam, menikmati rasa nikotin pada bibirnya dan hembusan angin malam yang menyejukan. Sama sekali tidak peduli pada denyut sakit di sekujur tubuhnya yang seperti remuk.
"Tapi yang tadi siapa, sih? Gue tumben liat dia. Jago juga mainnya," kata Jeno santai, terlalu santai hingga membuat Lucas mendengus keras tanpa ditahan. Rasa khawatirnya kini berubah menjadi rasa jengkel melihat Jeno yang selalu saja berpura-pura di hadapannya.
Mereka sudah berteman sejak balita, Lucas adalah satu-satunya teman Jeno yang paling dekat. Berkali-kali ia katakan bahwa Jeno boleh menunjukan sisi lemahnya pada Lucas, Jeno boleh mengeluh dan marah pada keadaan di hadapan Lucas. Lucas bahkan bersumpah untuk ikut menyusul ajal jika suatu saat nanti Jeno tidak bisa menyelamatkan nyawanya sendiri di dalam ring.
Lucas menghela nafas, melirik pada Jeno yang sedang asyik memandang pada kejauhan. Tatapannya menerawang dan Lucas sama sekali tidak bisa membaca apa yang sedang kawannya itu fikirkan.
"Namanya Jeon Jeongguk, petinju profesional. Kayaknya dia mau ngetes skill, ngga tau juga gue." Jeno nampak terkejut sebentar sebelum raut wajahnya yang tegang berubah menjadi tawa kecil. Kepalanya menggeleng kecil, seolah tidak percaya.
"Lee Donghae beneran pengen gue mati, kayaknya," komentar Jeno pelan. Mengisap batang rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara.
Lucas tidak menjawab, karena sejujurnya ia juga tidak paham. Apa maksud Lee Donghae membiarkan seorang petinju profesional masuk ke dalam arena kumuh dan berduel dengan seorang petarung jalanan yang bahkan tidak mendapatkan pelatihan yang layak?
Namun disatu sisi, Lucas sedikit —banyak, merasa bangga pada Jeno karena mampu mengalahkan Jeon Jeongguk walau harus bertarung habis-habisan hingga sempat tak sadarkan diri. Jika Jeno saja sudah sampai seperti itu, Lucas tidak tahu dan tidak mau mengetahui bagaimana kabar kondisi dari si petinju profesional itu.
"Gue balik duluan," ucap Jeno setelah mereka berapa lama saling diam. Menikmati rokok masing-masing dengan angin sepoi-sepoi yang menyejukan diri.
Lucas menoleh, melihat Jeno tengah merapikan belakang celana murah dan kumalnya. Melenggang begitu saja meninggalkan Lucas tanpa sepatah kata sampai jumpa yang biasa diucapkan teman kepada teman lainnya kala berpisah.
Jeno memang seperti itu. Tidak ramah. Namun Lucas mengerti. Tidak ada manusia yang bisa ramah pada hidup ketika hidup itu sendiri menyiksa sebegini kejam.