Part 25

236 36 132
                                    

Setelah berada di pantai. Revan dan Raisa hanya saling membisu menatap deburan ombak di depannya.

"Pulang sekarang?" Tanya Revan untuk pertama kalinya setelah mereka di sana dan hanya diam sampai detik cowok itu membuka suara.

"Kenapa lo hamilin sahabat gue?"

Revan mematung mendengar pertanyaan Raisa. Setelah kejadian itu, ini kali pertama Raisa mau bertanya kepadanya.

"Kenapa lo hancurin semuanya! Padahal saat itu gue udah jadi seseorang paling bahagia dengan mempunyai sahabat sebaik Gladis dan pacar sesempurna elo." Raisa terus saja berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari deburan ombak di depannya.

"Gue hampir aja berteriak ke semua orang kalo gue bener-bener bahagia. Sampai di malam ulang tahun gue, lo bawa kado spesial buat gue. Lo bawa kabar kehamilan sahabat gue yang sialnya ayah dari anak itu adalah pacar gue sendiri."

"Gue pengen banget ngucapin selamat ke kalian berdua. Tapi gue emang sahabat yang buruk. Bukannya ngasih selamat gue malah ngasih kalian tamparan," ucap Raisa dengan kekehan kecil di akhir kalimat. Meskipun bibir itu melengkung ke atas, tapi bulir bening juga turut serta meluncur dari mata gadis itu.

"Dan kenapa juga lo harus bunuh dia Van. Lo ngebunuh seorang gadis yang bahkan mungkin dia nggak pernah nyakitin orang lain. Dia itu gadis paling baik yang pernah gue temuin," ucap Raisa dengan air mata yang semakin deras.

Andai lo tahu yang sebenarnya Sa. Mungkin hubungan kita nggak akan serumit ini.

"Dan sekarang apa? Lo ngedeketin adek gue! Mau lo apa sih Van?!"

Revan masih saja betah dalam diamnya. Memandangi wajah Raisa lamat-lamat lalu menghembuskan napas lelah. Tanpa di duga cowok itu menangkup wajah Raisa, mendekatkan wajahnya sendiri samapi bibirnya menempel pada bibir pucat Raisa. Hanya menempel tanpa bergerak sedikitpun.

Keduanya hanya diam seolah meresapi apa yang tengah mereka lakukan, sampai Revan menjauhkan sedikit wajahnya lalu berucap pelan. "Bukan gue yang ngebunuh Gladis. Dia bunuh diri dan gue nggak tahu menahu soal itu. Dan soal Raina gue nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau ngelindungin dia."

***

Dirga💩

Cepetan turun! Gue udah ada di bawah.

Pesan singkat dari Dirga membuat Raina segera menuju lobi dimana Dirga menunggu.

"Ck. Lama!"

Baru juga Raina muncul, dia sudah mendapatkan decakan sebal dari Dirga.

"Kenapa? Nggak ikhlas lo?"

"Banget"

"Yaudah sih, gue juga nggak butuh lo ikhlas"

Dirga memutar bola matanya malas. "Cepetan. Jadi nggak?"

"Jadi dong"

Dan mereka berdua kini telah berada di dalam mobil.

Dirga berdecak tak suka melihat penampilan Raina. Sweater kebesaran dan hotpants super pendek. Entahlah, dia risih melihat paha Raina yang terekspos.

"Lo mau belajar nyetir atau mau mangkal?!" Tanya Dirga yang tentu saja dengan nada tidak bersahabat.

"Kenapa sih? Gue tadi buru-buru. Males ganti baju. Lagian gue di dalem mobil nggak akan ada yang lihat"

"Buta lo! Gue juga punya mata!"

Raina menelan ludahnya kasar. Tentu saja ingatan tentang kebrengsekan cowok ini masih sangat membekas di otaknya. Sekarang dirinya malah menjadi tak nyaman sendiri.

Tertanda RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang