---07 Sedikit Ingat---

38 10 20
                                    

---07 Sedikit Ingat---

Tatap hangatmu, kini kau tunjukkan untuk siapa?

Kita pernah berjalan searah, bergandengan tangan lalu tertawa

Tapi aku sadar bahwa kita berbeda tujuan.

-Ambivalen-

---

"Curut kalau mau mati sendirian aja jangan ngajakin aku," teriak Sinta menggema diudara.

"Diem, suara mu polusi," sentak Daffa, ia sebal karna harus membonceng Sinta yang bawelnya minta ampun dan tangan yang begitu aktif mencubit perutnya.

Daffa selalu begitu, naik motor dengan kecepatan penuh tanpa mempedulikan siapa yang dibonceng. Padahal dulu dia tidak seperti itu, ia selalu memperlakukan wanita dengan lemah lembut.

Sinta memeluk erat pinggang Daffa, meski dengan raut kesal namun ia merasa nyaman berada di balik punggung kokoh ini. Punggung yang dulu selalu jadi tempatnya berkeluh kesah, tempatnya nenumpahkan tangis.

"Daff," panggil Sinta pelan.

"Hm," singkat Daffa masih fokus dengan jalanan.

"Aku kangen" lirih Sinta semakin menggeratkan pelukannya. Entah setan mana yang merasukinya, sampai gadis itu berbicara seperti itu.

Daffa diam, ia tahu betul apa maksud dari perkataan gadis dibelakangnya ini. Tak ada pembicaraan sama sekali, hanya bunyi klakson saling bersahutan dan kendaraan lalu lalang sebagai musik untuk kedua remaja ini.

"Peluk aja kalau kangen," perintah Daffa langsung disambut dengan senyuman dibibir Sinta.

Dalam keheningan jalanan, kedua insan ini saling menaruh harapan amsing-masing dalam sang pencipta. Meminta agar terus seperti ini, tanpa ada yang pergi dan tanpa ada tersakiti.

Terlalu bahagia untuk dilupakan, terlalu indah untuk dikenang, maka terlalu sakit bila harus berakhir.

"Makasih curut, sana pulang aku gak akan kasih minum," kata Sinta penuh dengan raut bahagia dan kemudian melangkah meninggalkan Daffa yang masih setia menatap punggung mungil itu.

"Manis banget kalau sneyum, pantas banyak yang suka," guman Daffa lalu berbelok dan masuk ke rumahnya.

"Assalamualaikum ma" salam Daffa mencium tangan mamanya.

"Walaikumsalam, Mukamu bahagia banget nak, ada apa?" tanya Sarah memperhatikan muka anak lelakinya ini yang tampak memebrika kebahagiaan.

Daffa tersenyum "Gapapa ma, habis dapat senyuman bidadari," kata Daffa langsung menuju ke kamarnya. Daffa merebahkan tubuhnya menatap langit kamarnya. Kamar yang telah ia huni lebih dari 17 tahun, dinding kamar yang mengetahui segala kerapuhannya, yang menjadi tempatnya bercerita.

"Hidup aku terasa lengkap jika bersamamu, sehingga aku selalu minta untukmu menetap," lirih Daffa melihal bingkai foto berisi dirinya dan Sinta.

Bersama Sinta, dirinya merasa hidup. Ada letupan hangat ketika melihat Sinta tersenyum, atau merasa lucu ketika Sinta sedang merajuk dan ngomel-ngomel akan kejahilannya.

"Tuhan, aku memang bukan hambamu yang taat. Tapi kali ini bolehkah aku meminta permohonan kepadamu? Tolong buat Dia bahagia meski tidak bersamaku" lirih Daffa disela sujudnya.

---

Sinta berjalan dengan muka ceria seperti biasanya berjalan memasuki rumahnya, ia menyesali perkataannya tadi.

Pasti sekarang Daffa sedang kegirangan akibat pelukannya tadi. "Enak sekali Daffa dapat bonus, sedangkan aku dapat malu," gerutu Sinta menyadari tingkahnya tadi sangat memalukan.

Hilang sudah citra jual mahalnya ke Daffa, kalau setiap melihat punggung Daffa rasanya ingin sekali ia peluk.

"Papa udah pulang?" tanya Sinta melihat sang ayah duduk membaca koran di teras.

"Salam dulu cantik, kebiasaan banget" Tegur Abraham, Sinta tersenyum "Assalamualaikum papa Sinta yang ganteng banget" salam sinta langsung memeluk tubuh papanya.

Abraham mengusap lembut punggung Sinta penuh dengan kasih sayang, mengecup pelan keningnya sebagai bentuk ungkapan rasa rindu.

"Walikumsalam cantik. Mukanya kok ditekuk, gak suka papa pulang?" tanya Abraham lembut.

Sinta terdiam masih memeluk papanya, ia masih merindukan pelukan hangat selain dari Andre.

"Papa masih ingat pulang ternyata," sindir Sinta melepaskan pelukannya.

Abraham terkekeh melihat tingkah lucu anak gadisnya ini "Kemarin sempat lupa, tapi berhubung ada Maps bisa pulang," canda Abraham.

Sinta memutar bola matanya malas, "Emang papa tahu cara baca Maps?".

"Diajarin sama abangmu, makanya sekarang bisa pulang" ucap Abraham.

"Harusnya Andre gak usah ngajarin papa baca Maps, bia gak pulang sekalipun," kesal Sinta, moodnya hari ini memang sedang hancur banget.

"Daffa kok gak diajak mampir?" Tanya Abraham mengalihkan pembicaraan. Sinta mendengkus kesal, ia malas harus membahas curut got itu. Air mukanya langsung berubah masam.

"Takut kena virus nyebelin kalau diajak mampir" ceplos Sinta asal. Abraham tersenyum, mengerti ada sesuatu tersirat antara putrinya dengan teman dari sahabatnya sekaligus tetangganya ini.

"Queen, kamu tahu kalau hidup itu tidak hanya perkara bahagia atau sedih saja?" tanya Abraham.

"Hidup itu indah kalau kita benar-benar menikmatinya. Saat sedih kita bisa nangis dan mengingat kalau kita pernah bahagia, begitupun sebaliknya kita akan bersyukur atas kebahagiaan. Lakukan apa yang kamu sukai, karena yang tahu arah tujuan hidupmu adalah dirimu sendiri. Seperti hati, kamu tak bisa memaksa hatimu untuk jatuh cinta sama siapa, dan kamu juga gak bisa memkasa orang lain untuk jatuh cinta kepadamu. Semua itu sudah ada masanya, mungkin saat ini kamu sedang jatuh cinta sama orang lain belum tentu besok hatimu masih untuk orang itu." Nasehat Abraham kepada putrinya.

"Mandi dulu baru makan siang ya" Suruh Abraham, Sinta hanya menurut sambil mencerna nasehat papanya tadi.

"Ternyata hidup bukan perkara makan, tidur, nafas, kalau sudah masalah hati ribet banget. Jadi kepingin cosplay jadi bunglon, biar bisa menyesuaikan diri" guman Sinta.

---)))---

AmbivalenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang