Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Matahari menyinari lapangan bertanah merah dilengkapi rumput hijau yang mewah nan megah tersebut. Stadion yang cukup menampung lebih kurang lima ratus jiwa di bangku penonton. Rasa menyengat yang buat kepala berdenyut tak Ale gubris. Dirinya masih sibuk membenahi diri. Meski rasa kesal menyeruak tanpa aba-aba, Ale tetap berusaha merendamnya. Nando dan seluruh anak Galantika benar-benar membuat fokusnya terbagi. Sejak anak-anak paduan suara sekolahnya menyanyikan Hymne sekolah. Mereka terus berteriak dan saling melempar sorak dengan nama ayah Ale—Tian Erlangga.
Ale menghela napas panjangnya. Sebagai seorang pemukul nomor empat Ale tak boleh salah. Pasalnya sudah ada tiga temannya yang sudah mengisi base. Ale hanya perlu membuat sebuah pukulan home run untuk menyudahi pertandingan panas ini. Ale berdiri dengan posisi andalannya. Lututnya semu ditekuk, memasang kuda-kuda yang kokoh. Pandangan mata di bawah topi Bantarious itu menatap tajam. Kilat keseriusannya dapat dirasakan anak-anak Galantika. Bahkan, pitcher di hadapannya merasa ketar-ketir. Ale mengerling sejenak, bibirnya tersenyum mistis.
Bola di tangan sang pelempar melesat dengan cepat. Ujung tongkat Ale bersentuhan dengan pemukaan bola karet berbenang merah tersebut. Sebuah pukulan yang sangat bertenaga menghasilkan home run yang orang-orang selalu nantikan. Ale lantas menaruh tongkatnya sembarang. Berlari melambaikan topi yang dilepaskan dari kepala. Rambut hitam lebat yang agak kecokelatan akibat terbakar matahari itu bergoyang-goyang ulah angin. Satu stadion berteriak menyebut namanya. Sementara itu anak-anak Galantika hanya sibuk mengejek dengan senyum merendahkan dan jijik. Meski demikian Ale tak peduli.
Seluruh anak Bantarious sudah kembali ke home plate. Pelukan hangat dan erat Ale dapatkan dari seluruh teman-temannya di sisi lapangan. Di innings ke tiga, Bantarious memenangi seluruhnya telak dengan nilai empat lawan kosong. Dan seluruh pemain Bantarious tak gagal memukul bola.
“Kita emang selalu percaya kalau Ale bisa!” Fito dan senior lainnya berteriak dengan bangga.
Kepala Ale dibelai, diacak-acak rambutnya bahkan ada pula senior yang menoyornya saking sayangnya pada Ale dan berterima kasih atas segala yang Ale berikan untuk Bantarious, begitu bahasanya. Di antara sekian banyak yang memujanya, sang pelatih hanya memberikan dua ibu jarinya, dengan senyum hangat. Jika saja, dia ayahnya, Ale pikir ingin memeluknya dan mengatakan bahwa Ale lega. Sayangnya, Ale terlalu malu memeluk pelatihnya, apalagi di depan umum. Meski kadang kedua tangan pria empat puluhan itu selalu terbuka untuk anak-anak didiknya.
Di bangku nun jauh di seberang Hira dan Nanda melambaikan tangannya dengan senyum bahagia. Ale bisa merasakan getaran dari bibir Hira yang mengatakan terima kasih dan kerja bagus. Ale segera duduk di bangku tim, setelah tim dinyatakan menang telak. Dan di permainan esok, Bantarious akan menghadapi Orion Jatim 2000.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]
Roman pour AdolescentsOPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021 [Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021] Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara. Singkatnya begini, walaupun pertikaian...