Chapter 1

1 1 0
                                    

Matanya menatap sayu di kejauhan. Gerimis halus menerpa pepohonan. Taman itu dipenuhi tanaman hias dan semak yang tertata rapi. Dirawat oleh pengurus kebun khusus yang dipekerjakan oleh pihak universitas. Sang pemilik yayasan kabarnya senang kehijauan dan mengharuskan ada wilayah hijau pada tiap institusi pendidikan yang bernaung di bawah yayasan mereka. Efeknya cukup menyenangkan. Pada musim kemarau kampus terasa sejuk dengan banyaknya pohon dimana-mana. Para mahasiswa bisa belajar atau sekedar nongkrong di bawah keteduhan dedaunan,  sembari menikmati empuknya permadani rumput gajah yang selalu dirawat dengan apik. Yang menyulitkan hanya besarnya biaya kebersihan, karena meski sudah ada tanda larangan membuang puntung rokok sembarangan, toh pada akhir hari selalu terlihat tebarannya dimana-mana.

Langit hari itu berwarna kelabu. Gumpalan awan hujan bergulung-gulung mengikuti arah angin bertiup. Suasana sendu menyelimuti seluruh kampus. Selalu seperti itu setiap hujan datang. Bersyukur hanya hujan ringan bukan hujan badai. Kala itu masa menjelang ujian, saat-saat dimana sistem kebut semalam dipraktekan. Layanan jasa fotokopi selalu penuh oleh antrean. Fotokopi catatan kuliah tentu, bagi para mahasiswa yang terlalu malas untuk mencatat dan hobi menitip absen. Rental komputer selalu laris di masa ini. Deadline pengumpulan paper dan tugas kuliah mengancam para siswa untuk berjibaku pada detik-detik terakhir. Seluruh kampus menggeliat tak sabar. Wajah-wajah pucat muram khas orang yang habis begadang berpapasan. Terjalin rasa saling mengerti tanpa kata antara wajah-wajah itu. Masa menjelang ujian bagaikan medan perang. Umpatan dan penyesalan berkelindan. Mengapa tugas ini tidak dikerjakan lebih cepat? Mengapa tidak masuk kuliah lebih rajin? Mengapa tidak menyiapkan catatan jauh-jauh hari? Tapi penyesalan selalu datang belakangan. (Kalau di awal namanya pendaftaran).

Sosok itu menatap muram pada kejauhan. Tidak jelas kemana pandangannya terfokus. Wajahnya pucat, namun kurang tidurnya bukan karena mengerjakan tugas kuliah atau persiapan ujian. Perawakannya biasa-biasa saja. Dengan tinggi 175cm dan rambut sepinggang, penampilannya tidak mencolok di antara banyak mahasiswa yang berperawakan serupa. Rahangnya terlihat kuat khas rahang suku batak. Tatapannya tajam dinaungi alis lebat di dahi yang tinggi. Satu-satunya yang mencolok dari parasnya adalah bentuk hidung yang mancung sempura. Membuat penampilan standarnya naik level seketika. Celana jeansnya belel dan robek di beberapa tempat. Sandal gunung dari sebuah merk perlengkapan outdoor terpasang di kakinya. Sandal itu lusuh, item khas mahasiswa.

Suasana yang sendu menggambarkan hatinya. Tapi bahkan hujan badai sekalipun tak mungkin bisa menyapu kesakitan yang ia rasa. Bagaimana mungkin manusia bisa merasa? Tidak seperti batu atau kayu yang mati. Harga yang harus dibayar untuk hidup adalah kesakitan. Kalau bisa memilih, saat ini dia akan lebih memilih untuk jadi batu atau kayu saja.  Atau bisakah kita membekukan hati? Membuatnya mati seketika supaya tidak harus merasa. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Setiap kakinya melangkah nafasnya sesak seakan dia punya penyakit asma. Dia belum tidur sejak semalam. Bahkan mungkin sudah beberapa minggu ini tidurnya tak nyenyak. Seringnya ia hanya menatap kosong langit-langit di atas tempat tidurnya di kamar kost murah tempatnya berlabuh mengakhiri hari. Tak tahan dengan kesakitan yang ia rasa, pagi ini ia memutuskan untuk pergi ke kampus. Setiap gerakan ia lakukan tanpa berpikir, benaknya kosong, ia seperti melayang di udara. Tahu-tahu ia sudah sampai di sini. Dalam sebuah kotak berukuran 5x6, sisi dindingnya dipenuhi file cabinet dan lemari loker. Meja kayu yang cukup besar ditempatkan di tengah ruangan. Deretan kursi beraneka bentuk, ukuran, dan bahan tersebar tak teratur. Tumpukan bangku bakso menjulang tinggi nyaris menyentuh langit-langit. Bangku-bangku itu entah darimana asalnya. Kebiasaan mahasiswa sering main comot sana sini setiap lihat barang tak bertuan. Akibatnya ruang senat mereka tak pernah kehabisan bangku. Barang-barang entah apa teronggok di setiap pojok ruang. Ada beberapa organisasi yang dinaungi oleh senat mahasiswa, ruang itu digunakan bersama. Maka mustahil untuk menjaganya tetap rapi. Keterbatasan ruang membuat setiap organisasi yang ada harus berbagi. Bagian belakang ruang itu adalah dinding kaca, taman kampus yang luas terbentang di baliknya. Pemandangan dan dinding kaca itu menciptakan ilusi ruang yang luas tanpa batas. Hal itu menjadi salah satu favorit anak-anak. Sebuah penghiburan atas ruang sempit dan padatnya kegiatan mahasiswa, terutama tugas-tugas kuliah yang njelimet.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan UnguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang