♡♡♡
Gelap yang kelam kini tiba dengan sendirinya. Kibasan angin malam menusuk menampar kesunyian. Air mata menjadi saksi ngeri akan kejadian hari ini masih terasa. Perihnya masih di dekap, laranya sungguh menyiksa.
Netra coklat gelap seorang gadis terbuka setelah sekian lama memejamkan mata di depan rumahnya. Matanya menatap kursi-kursi alumunium yang memenuhi pekarangan sudah terlipat dan dikumpulkan di beberapa titik halaman rumah. Orang-orang yang berlalu-lalang di dalam rumah tinggal segelintir tetangga. Acara hari ini akhirnya selesai, kepala keluarga sudah dimakamkan.
Wanita berusia kepala lima tengah terduduk di pinggir ranjang. Punggung rapuhnya membungkuk layu. Bahunya bergetar karena menangis, isak tangisnya memenuhi ruangan yang hening. Gadis yang tadi di depan rumah kini sudah berada di dalam kamar. Hatinya terenyuh, suara tangisan ibunya membuat batinnya teriris. Gadis itu meletakkan tangan di bahu ibunya, mengusap-usapnya lembut guna memberikan kekuatan.
"Sejak bapak sakit satu bulan yang lalu, Ibu udah ambil cuti. Sekarang, waktunya sudah habis. Ibu bingung harus berangkat ke kota ninggalin kamu sendiri atau tetap di rumah. Ibu takut dipecat, nanti yang membiayai sekolah kamu siapa, La?" ucapnya. Guratan kesedihan kian terpancar di wajahnya yang sudah mulai berkeriput.
Gadis bernama Rosela Zinovia, hanya bisa diam dan menatap sendu ibunya. Keadaan keluarganya memang miskin. Oleh karena itu, ibunya harus kerja sebagai pembantu di ibu kota dan bapaknya bekerja sebagai petani. Kini, hanya ibunya yang banting tulang demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dadanya seketika sesak, karena saat ini Rosela belum bisa membantu mencari nafkah. Ia hanyalah gadis biasa yang masih kelas dua SMA.
"Ibu ... Rosela enggak papa sendiri di rumah," katanya dengan suara pelan. "Ibu bisa berangkat besok. Rosela ... Rosela akan ...."
Kalimat itu tersekat di tenggorokan, terlalu menyakitkan untuk dikeluarkan. Rosela tidak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Ia memeluk ibunya dan menangis kencang, ibunya hanya bisa membelai rambut anaknya. Kepergian kepala keluarga menjadi pukulan keras bagi mereka berdua.
Tidak ada yang menyangka bahwa Jaka--papa Rosela dan suami dari Mirah--ibunya, akan mengembuskan napas terakhir di usianya yang sudah mencapai lima puluh lima tahun karena kanker paru-paru yang di deritanya. Selama Mirah di ibu kota untuk bekerja, Rosela menjalani kesehariannya dengan membantu Jaka di sawah sehabis pulang sekolah. Hari-harinya yang biasa ia habiskan bersama Jaka kini tidak akan terulang lagi.
"Maafin Ibu, Nak. Ibu harus pergi besok demi kamu." Mirah mengusap lembut punggung anaknya yang semakin terisak.
***
Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian hari itu. Kini, Mirah menjalani kehidupan sehari-hari sebagai pembantu rumah tangga. Mirah bekerja di rumah mewah dari pasangan suami istri dengan satu anak laki-laki berumur tujuh belas tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐇𝐄𝐀𝐓𝐇𝐄𝐑
Genç KurguTentang gadis biasa, yang mengharapkan hal luar biasa. --- Hidupnya mungkin saja akan bahagia apabila Rosela terlahir sebagai orang berada, sehingga ia tidak terpaksa menerima asumsi temannya bahwa dirinya dari kalangan kelas atas. Hal tersebut sang...