[18+] Gift From Korea

30.2K 465 8
                                    

02.15 WIB

Aina terbangun dengan nafas memburu dan dada berdebar. Butir-butir kecil keringat membasahi pelipis dan anak rambutnya. Wajah cantiknya memucat dengan bibir mengatup rapat, terlihat begitu tegang. Seperti biasa, dia kembali bermimpi buruk. Mimpi yang menemaninya selama hampir 5 tahun terakhir. Diraihnya gelas di atas nakas dan meneguk air di dalamnya untuk menenangkan diri. Perlahan, dia menurunkan kaki dari ranjang dan beranjak menuju kamar mandi.

Sekilas dilihatnya wajah pulas sang suami yang masih berada di alam mimpi. Begitu damai dan-ehm, tampan.

Dipta memang tampan, Aina mengakui itu. Wajahnya yang teduh dengan mata bulat bermanik hitam pekat, alis tebal, hidung mancung, bibir sensual, rahang tegas, serta tubuh tegap dengan bahu lebar dan dada membidang. Sungguh mahakarya sempurna dari Yang Maha Kuasa, bukan? Belum lagi tutur katanya yang begitu sopan dan perlakuan yang menenangkan. Selalu mengalah, sabar meski Aina bersikap kasar dan ketus.  Tak pernah sekalipun Dipta membalas perlakuan Aina dengan sama kasarnya. Dia selalu lembut, baik perkataan maupun perbuatan.

Dipta selalu memperlakukan Aina seperti tuan putri. Bukankah dia adalah jodoh sempurna yang dikirimkan Tuhan untuknya?

Buru-buru Aina menggelengkan kepala, mengusir segala khayalan tentang suaminya. Ia meneruskan langkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Saat keluar, dilihatnya Dipta sudah duduk di tepi ranjang sambil menggeliat.

"Kamu sudah bangun? Kenapa tidak membangunkanku?" Tanya Dipta yang melihat Aina keluar dari kamar mandi.

Aina melengos. Meraih mukena dan sajadah dari meja samping lemari kemudian menggelarnya.

"Aku berniat membangunkanmu setelah sholat. Tapi ternyata kamu sudah bangun lebih dulu." Aina menjawab sembari mengenakan mukena.

Oh benar. Mereka sudah tidak lagi berbicara formal sejak dua bulan lalu, saat pertama kali pindah ke rumah yang sekarang mereka tempati. Aina juga sudah belajar memanggil Dipta dengan sebutan 'Mas', bukan dokter lagi seperti biasanya. Sejujurnya, dia enggan melakukan itu. Namun, dia juga tidak menemukan kata yang tepat untuk menyanggah saat Dipta mengatakan bahwa mereka harus terbiasa bersikap seperti suami istri agar tidak kaget ketika bertemu keluarga. Alhasil, mau tidak mau Aina menuruti.

Aina memulai sholat malamnya saat Dipta berada di kamar mandi. Setelah selesai, dia bangkit dan duduk di tepi ranjang. Membuka laptop. Sedangkan Dipta gantian menempati sajadah Aina dan menunaikan sholat di atasnya.

"Kamu sedang apa?" Dipta bertanya sambil melipat sajadah.

Aina hanya melirik dari sudut mata kemudian menjawab singkat, "Menulis."

"Kamu tidak ingin tidur lagi? Masih jam segini." Tanya Dipta lagi. Dia membaringkan tubuh di ranjang dengan posisi miring, menghadap Aina yang duduk bersandar di kepala ranjang dengan laptop di pangkuan.

"Tidak. Anda--ah, maksudku kamu tidur saja jika masih mengantuk."

"Baiklah. Kamu jangan terlalu memaksakan diri. Istirahat jika lelah," balas Dipta sebelum memejamkan mata dan perlahan kembali ke alam mimpi.

//

Aina sedang menata dua piring nasi goreng di atas meja makan saat Dipta turun dari tangga dengan pakaian rapi lalu menghampirinya dengan alis bertaut.

"Kamu yang membuat ini?" Tanya Dipta heran melihat nasi goreng di meja makan.

Aina mendengus. "Menurutmu siapa lagi?"

Dipta terkejut. "Kamu bilang tidak bisa masak?"

"Aku tidak bisa memasak makanan dengan bumbu yang terlalu kompleks seperti semur atau lodeh. Namun jika hanya sepiring nasi goreng, siapa yang tidak bisa membuatnya?" Aina membalas sarkas. Dipta hanya mengangguk singkat.

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang