Ini adalah hari yang melelahkan untuk Saehee. Bahkan di saat pernikahannya sudah di depan mata, ia masih harus dihadapkan oleh tugas yang menumpuk dari dosennya.
Kabar mengenai pernikahannya dan Jimin sudah tersebar di seluruh kampus. Bahkan mahasiswa dari fakultas dan jurusan lain pun sudah mengetahuinya. Ia tak tahu bahwa perusahaan milik keluarga Jimin adalah donatur besar di kampus swasta itu. Bahkan yang sangat mengejutkan adalah ia mendapatkan ucapan selamat dari banyak dosen dan professor besar di kampusnya. Tak lupa beberapa petinggi di universitasnya secara pribadi mengundang Saehee untuk sekedar minum teh dan mengobrol ringan, berbasa-basi mengenai pernikahannya dan Jimin, juga mengenai kerjasama antara kampus dan perusahaan Jimin. Mungkin karena Saehee masih memiliki beberapa tahun di kampus ini sehingga mereka bisa melihat peluang terhadap Saehee dan status barunya sebagai menantu keluarga Park. Aneh sekali, bahkan bisa dibilang sangat menyebalkan.
Saehee menuruni anak tangga di depan gedung fakultasnya. Matanya memerhatikan sekitarnya. Kini warna oranye benar-benar mendominasi sejauh mata memandang. Ini benar-benar musim gugur yang indah, juga sangat dingin tentunya. Musim ini juga terlihat sangat romantis bagi mereka yang tengah memadu kasih dengan pasangannya. Sayang sekali, Saehee tak punya banyak waktu dan kenangan indah dengan Jimin saat musim gugur.
“Kang Saehee-ssi?”
Seorang gadis tiba-tiba muncul dari belakang, memasang wajah ramahnya di hadapan Saehee. Gadis asing itu membuat Saehee kebingungan. Ia hanya bisa memasang senyum kikuknya.
“Y-ya?”
Gadis itu tersenyum makin lebar, menampakkan sederetan gigi putih nan rapi di hadapan Saehee. Ia menyerahkan sebuah amplop merah kepada Saehee.
“A-apa ini?” tanya Saehee curiga. Tangannya masih enggan menerima amplop pemberian gadis asing itu.
Gadis itu tak menjawab. Ia tanpa basa-basi langsung menarik tangan Saehee, menyerahkan amplop misterius itu secara paksa kepada Saehee dan segera berlari kencang meninggalkan Saehee yang masih dihinggapi rasa bingung.
“Hei! Tunggu!” Saehee berniat mengejarnya, namun sepertinya ia benar-benar kehabisan energy. Baru beberapa langkah ia mencoba mengejar gadis berkacamata itu, ia memutuskan untuk menyerah. Ia tak ingin menghabiskan energinya yang tersisa hanya untuk mendapatkan penjelasan dari gadis itu.
Saehee membolak-balik amplop merah itu. Ia penasaran dan segera mengeluarkan isinya. Sebuah surat dan Saehee segera membukanya.
Saehee-ya, aku tak tahu ini akan menjadi akhir atau awal. Aku tak tahu harus bagaimana lagi untuk mempertahankanmu. Jika kau masih mencintaiku, datanglah ke gereja di Samsung-dong malam ini. Aku akan menunggumu hingga jam 12 malam.
-Jeon Jungkook-
Saehee mengembuskan nafas berat. Beberapa minggu tanpa Jungkook membuatnya mulai terbiasa dengan hilangnya sosok itu. Hampa memang, dan Saehee tak memungkiri itu. Ia tak bisa berbohong tentang bagaimana ia melihat Jimin seolah-olah tengah melihat Jungkook. Bermain peran bak professional, memaksakan diri untuk masuk kedalam adegan romantis yang ia ciptakan bersama Jimin. Tak ada yang salah dengan itu. Saehee juga tak menyesalinya. Itu membuatnya perlahan bisa menerima sosok Jimin, membiasakan diri dengan Jimin yang akan segera menjadi suaminya yang sah.
Saehee memasukkan amplop itu kedalam tasnya dan bergegas menuju halte. Busnya akan tiba dalam 10 menit. Ia harus cepat jika tak ingin ketinggalan bus.
*
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Jimin dan Saehee bersiap untuk tidur. Mereka sudah memakai piyama masing-masing, memakai skincare rutin, juga sudah mengucapkan selamat malam bersama dengan kecupan singkat di dahi Saehee. Saehee yang tengah berbaring di samping Jimin melirik pria itu. Mata Jimin sudah terpejam sempurna. Tak butuh waktu lama untuk membuat pria itu tertidur. Harinya di perusahaan makin sibuk menjelang pengunduran dirinya. Maklum lah, Jimin adalah tipe pekerja keras dan sangat berdedikasi mengenai pekerjaannya. Ia ingin membereskan semuanya sebelum ia pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Baper! Kita Cuma MANTAN |Jeon Jungkook| [SELESAI]
FanficDalam hidup, pertemuan dan perpisahan adalah misteri yang kerap di simpan rapat oleh takdir. Perpisahan bisa saja menjadi hal yang menyakitkan, namun kadang kala pertemuan setelah perpisahan adalah hal yang lebih menyakitkan berkali-kali lipat. Hal...