Apology

14.7K 340 7
                                    

Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat.

Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya.  Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya.

Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya.

"Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi.

Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin sudah kering terkuras oleh tangisannya tadi malam. Aina merutuki diri. Merasa bodoh karena bisa-bisanya mengenakan lingerie di depan laki-laki normal yang jelas-jelas dia larang untuk menyentuhnya. Dia sadar kejadian tadi malam bukan salah Dipta, melainkan seratus persen kesalahannya. Kebodohannya. Namun egonya jelas enggan mengakui itu.

Diraihnya jubah mandi yang menggantung di belakang pintu lalu mengenakannya, menutupi lingerie hitam yang melekat di tubuhnya sebelum memutar kenop pintu dan keluar dari sana.

Dipta memandang tubuh Aina yang berjalan dan berhenti di depan lemari dengan perasaan bersalah yang kentara. Dia merasa seperti laki-laki brengsek sekarang. Masih diingatnya bagaimana isakan dan raungan histeris Aina sambil berusaha mendorong tubuhnya memohon untuk dilepaskan. Bagaimana tubuh bergetar Aina yang ketakutan saat dia menciumnya paksa. Juga rintihan pilunya yang terdengar di sela isakan.

"Aina, aku minta maaf," ucapnya lirih. Lagi-lagi Aina tidak menjawab. Dia hanya mengambil baju ganti dari lemari dan dibawanya ke kamar mandi. Bahkan hanya untuk memandang Dipta, dia merasa enggan. Antara kesal dan malu. Itu yang dirasakannya saat ini.

//

Aina hanya mendiamkan Dipta seharian. Memasang ekspresi datar tanpa menatap lelaki itu sedetikpun. Segala perkataan, permohonan, serta permintaan maaf Dipta tak ada yang diresponnya. Dia benar-benar mengabaikan keberadaan Dipta di sisinya.

Tanpa Aina sadari, wajah datarnya terbawa sampai ke tempat kerja. Di kelas, dia menjelaskan pelajaran kepada para muridnya dengan nada datar dan tatapan kosong. Padahal biasanya dia selalu memberikan materi pembelajaran dengan bersemangat, ceria serta senyum yang tak lepas dari bibirnya. Murid-murid serta rekan kerjanya menyadari itu namun tidak berani bertanya.

Saat istirahat makan siang, barulah Sarah, salah satu rekan guru yang juga sahabatnya di tempat itu memberanikan diri menegur Aina.

"Ada apa denganmu?" tanya Sarah yang mengambil duduk di bangku taman belakang sekolah, di samping Aina.

Aina menoleh sekilas, memaksakan senyum datar lalu mengalihkan pandangan lagi ke depan. "Tak apa."

"Ceritakan apa yang membuatmu seharian memasang wajah datar begini," tuntut Sarah lagi. Netranya menatap lurus wajah Aina dari samping. "Kau ada masalah dengan suamimu?" Dia kembali bertanya, kali ini tanpa basa-basi.

Aina menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Dia menggigit bibir seraya menatap kosong deretan pohon yang berjajar rapi di depannya. Ada keraguan yang terselip dari sorot mata itu. Haruskah dia menceritakan semuanya kepada Sarah atau memendam semuanya sendiri? Tapi rasanya sangat memalukan menceritakan kejadian semalam kepada orang lain. Maksudnya, mereka sudah menikah. Pasti orang lain akan menertawakannya jika dia menceritakan hal itu.

Akhirnya Aina hanya menggeleng lemah. Ditelannya sendiri perasaan campur aduk yang menderanya seharian. Biarlah. Toh dia pernah melewati masa-masa yang lebih sulit dan menyakitkan dari ini. Lima tahun lalu.

"Benar kamu tidak ingin menceritakannya?" Sarah masih keukeuh. Aina menarik sudut bibir menghadap wanita itu. Berusaha meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja.

"Aku tidak apa-apa, percayalah. Mungkin sedang kelelahan saja. Aku baru merasakan ternyata menjadi wanita karir sekaligus seorang istri itu berat." Aina terpaksa berbohong.

Sarah mendesah pelan. Meskipun dia yakin bahwa yang diucapkan Aina barusan hanya alasan untuk menutupi masalah yang sebenarnya, namun dia tidak lagi menuntut. Jika Aina tidak mau menceritakan, itu berarti memang dia tidak boleh tau. Dia tidak akan memaksa. Biarlah Aina sendiri yang menceritakan padanya jika wanita itu sudah tenang.

Nyatanya, menyimpan masalah sendiri membuatnya tidak bisa fokus mengajar. Beberapa kali muridnya menegur saat mengetahui Aina sedang melamun dalam kelas. Lalu saat akan mengajar pada jam terakhir, Aina salah masuk ke kelas pak Markus, hingga laki-laki itu mengkhawatirkannya.

"Bu Aina, apakah anda sakit? Anda tidak terlihat seperti biasanya hari ini," tegur laki-laki paruh baya itu dengan raut wajah cemas.

"Saya baik-baik saja, pak Markus. Maaf sudah mengganggu kelas anda." Aina mengangguk singkat lalu undur diri dari hadapan pak Markus.

Saat akhirnya waktu pulang tiba, dia tidak lagi terkejut melihat mobil Dipta terparkir di luar gerbang sekolah. Dia yakin laki-laki itu akan menjemputnya lagi.

"Aina," panggil Dipta saat melihat Aina hanya berjalan melewatinya tanpa menoleh. Diraihnya pergelangan tangan wanita itu, memaksanya menghentikan langkah yang bergerak semakin cepat.

"Lepaskan!" hardik Aina setengah tertahan sambil mengibaskan tangan.

"Aina, kumohon jangan begini. Kita bicara di rumah, ya?" Tanpa menunggu jawaban Aina, ditariknya lengan itu lagi lalu melangkah menuju mobil. Dengan terpaksa Aina menuruti laki-laki itu. Dia sadar dimana dirinya berada sekarang.

Aina membuang muka, menatap keluar kaca mobil dengan pandangan menerawang. Sedangkan Dipta hanya diam dengan pandangan lurus ke depan, fokus membawa mobil agar selamat sampai tujuan. Sesekali diliriknya wajah wanita yang duduk di sampingnya itu dari ekor mata. Mengamati segala perubahan ekspresi atau sekedar pergerakan kecil wanita itu.

Sampai di rumah, Aina langsung masuk ke kamar. Pikirannya benar-benar kacau. Dia enggan bertemu Dipta. Bayangan kejadian semalam masih meronta-ronta di otaknya. Sorot mata redup berkabut gairah milik Dipta, lengan kekar yang mendekapnya erat, bibir basah yang menciumnya dengan lidah yang mendesak masuk memaksanya membuka mulut, serta sentuhan lembut tangan Dipta di belakang kepalanya yang membuatnya terlelap. Semuanya. Semua ingatan itu berdesakan memenuhi pikirannya seharian. Dia tidak akan sanggup menatap wajah laki-laki itu sekarang.

Dipta menyusul masuk ke kamar setelah memarkirkan mobil di garasi rumah. Dilihatnya Aina yang sedang meringkuk mendekap guling di atas ranjang. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana caranya meminta maaf kepada Aina?

"Aina, aku ingin bicara," ucapnya membuka percakapan seraya mendudukkan diri di tepi ranjang, di samping Aina.

"Tentang kejadian semalam, aku benar-benar minta maaf. Aku tau aku salah. Tak seharusnya aku melakukan itu, melanggar perjanjian kita. Tapi aku khilaf semalam. Aku kehilangan kendali atas diriku sendiri. Kumohon maafkan aku," lanjutnya berusaha menjelaskan. Melihat Aina yang masih diam, Dipta menyentuh bahu Aina. Meminta atensi darinya.

Namun, Aina dengan cepat membalik badan dan menepis tangan Dipta dari bahunya. "Jangan sentuh saya!" hardiknya dengan tatapan nyalang.

Dipta meremas rambut frustasi. Kepalanya menunduk menyembunyikan wajah putus asanya dari Aina. Harus seperti apa lagi dia meminta maaf kepada wanita itu?

"Aku harus bagaimana supaya kamu mau memaafkanku?" tanyanya lirih. Lebih terdengar untuk diri sendiri.

Aina menatap raut wajah frustasi itu dengan wajah datar. "Jangan pernah menyentuh saya lagi. Saya tidak akan pernah memaafkan anda jika berani mengulanginya," desisnya dengan tatapan dingin menusuk.

Dipta mengangkat wajah. Membalas tatapan dingin Aina dengan senyum. "Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang