Bab 1 Rumah Sakit

98 12 2
                                    

Seorang wanita muda sedang duduk di trotoar seraya mengelus perutnya yang membuncit. Sesekali ia mengerutkan wajahnya dengan napas yang ugal-ugalan.

Beberapa orang yang lewat tak peduli dengannya, namun seorang lelaki gagah berseragam loreng dari sebuah ruko membeli air putih. Belum sempat diminumnya, ia berlari melihat wanita itu mengalami kontraksi hebat.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tolong saya, Pak!" Pintanya seraya menahan rasa sakit di perutnya.

Segera jua ia menahan sebuah taksi. Ia memapah wanita muda itu menuju taksi dan memperlakukannya dengan hati-hati.

"Mau ke mana, Pak?"

"Ke rumah sakit terdekat, Pak."

"Tapi, itu adalah rumah sakit terbesar, Pak. Pasti sangat mahal, aku tidak punya uang," beber wanita itu.

"Tak usah memikirkan itu! Minumlah ini!"

Meskipun dahaga si baret terus menjerit, ia lebih rela berkorban demi orang yang paling membutuhkan, tanpa harus memikirkan dirinya.

Saat perjalanan menuju rumah sakit, rasa sakit wanita muda itu tak bisa terbendung hingga membikin lelaki di sampingnya tak nyaman melihat pemandangan itu.

"Pak, cepatan sedikit ya!"

"Iya, Pak."

Beberapa kali ponselnya berdering tak dihiraukan jua. Nyaris sepuluh kali panggilan.

Not sure if you know this
But when we first met
I got so nervous I couldn't speak
In that very moment
I found the one and
My life had found its missing piece

"Silakan diangkat teleponnya, Pak. Pasti panggilannya sangat penting," desis wanita muda yang berlumuran keringat dingin.

"Sudahlah, tak usah pikirkan itu, yang terpenting adalah keselamatanmu," katanya dengan bijak.

Beberapa pertanyaan sudah berancala di benak kepala si baret hijau, namun tak enak hati jua ia bertanya saat situasi dan kondisi tak memungkinkan.

"Pak, apa masih lama?"

"Tidak, Pak. Itu rumah sakitnya sudah kelihatan.

Si baret hijau melihat tagihannya yang merias di depan, dibayar juga sebelum memapah wanita muda  itu turun dari taksi.

" Terima kasih, Pak," ucapnya sebelum taksi itu berlalu.

Memasuki halaman rumah sakit, ia mengerahkan bola matanya menangkap sosok seorang perawat atau petugas medis lainnya.

"Bu, tolong ambil brangkar!"

Perawat itupun segera berlari untuk menolong ibu itu menuju ke ruangan bersalin.

"Maaf, Pak. Segera urus administrasinya dulu!" Instruksi perawat itu.

Usai menyelesaikan biayanya, ia menuju di depan ruangan bersalin.

"Anda suaminya? Kamu harus menandatangani ini sebelum kami mengoperasi ibu ini," ulas seorang dokter.

"Maa...." Langsung jua terpotong oleh Pak dokter.

"Silakan Pak, jangan ambil resiko dengan terlalu lama berpikir!" usulnya.

Ia pun menandatangani kertas itu tanpa berpikir panjang, di benaknya demi sebuah kemanusiaan.

"Terima kasih, Pak. Anda bisa duduk menunggu dan berdoa untuk keselamatan istri dan anak, Bapak."

Jarum jam berdentang sadis, ponsel yang beberapa jam berbunyi merdu kini merengek kembali.

Senapan Yang Penuh Keajaiban (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang