Bukan Pembawa Sial

16 5 6
                                    

"Si anak sial sudah datang rupanya". Suara sumbang itu menyambut kedatanganku. Diiringi “huuuuuhhhhhhh” sorak sorai nada pengiring bergemuruh bagai guruh yang menambah riuhnya penyambutan. Membuat dentuman semakin keras di dada ini. 

"Lihat saja jalannya, pantatnya sudah persis pantat menthok". Terdengar suara Sherly ketua geng "chubby" dengan bibir yang pleat pleot mirip orang struk dengan suara yang dibuat-buat. Setelah itu tanpa instruksi mereka menyanyikan lagu Menthok lengkap dengan gerakan pengiringnya. Mirip anak sekolah dasar yang menari di depan kelas.

Menthok, menthok tak kandani

Mung lakumu angisin isini

Mbok ya aja ngetok ana kandhang wae

Enak enak ngorok ora nyambut gawe

Menthok, menthok mung lakumu

Megal megol gawe guyu

Rasanya ingin sekali menampar mereka yang dengan asyiknya menari-nari didepanku. Menendang bokong mereka yang ber geal geol persis kaya menthok yang berjalan di comberan. Menarik rambut mereka yang panjang hingga rambutnya putus dari kepalanya. Setelah itu melakban mulut mereka hingga tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun dari mulut mereka yang tak sopan itu.

Aaahhh rasanya ingin sekali mengubah tawa mereka menjadi tangis. Seperti apa yang mereka lakukan padaku. Keinginan hanya sebatas rasa yang terkubur terlalu dalam pada segumpal daging yang terluka, mengalirkan darah segar yang tersiram air garam. Perih… entah kapan luka itu akan mengering.

Seperti biasa. Aku hanya terdiam di tempatku berdiri. Tanpa sepatah katapun mampu keluar dari mulut yang sudah lama terkunci. Bahkan air mata pun sudah lama mengering. Sehingga aku pun lupa rasanya menangis. Setelah mereka puas dan berlalu, baru aku lanjutkan langkah kaki menuju tempat dimana aku duduk dan mendengarkan maha guru memberikan ilmu. 

Aku Kaisha Nadhira, mahasiswa fakultas pertanian salah satu universitas negeri di kaki gunung Slamet. Tepatnya di kota kecil yang terkenal dengan makanan khas tempe mendoannya. Sejak kecil aku hidup bersama nenek. Orang memanggilnya Mbah Marti. Ibuku meninggal saat melahirkanku ke dunia ini. Dan ayah meninggal tujuh hari setelah kepergian ibu, saat sedang bekerja sebagai tukang becak yang menjadi korban tabrak lari. Itulah yang menyebabkan aku dipanggil dengan anak pembawa sial. Karena melahirkanku ibu sampai meninggal, dan karena mencari uang untuk membeli susu ayah meninggal.

Satu-satunya orang yang mencintaiku dengan tulus adalah Mbah Marti. Membesarkan ku dengan penuh kasih sayang dan tanpa kurang suatu apa. Walaupun harus banting tulang memeras keringat, Simbah tak pernah mengeluh. Semangatnya yang luar biasa seakan mengalirkan energi positif padaku untuk terus belajar dan belajar hingga meraih cita-cita dan membalas kasih sayang simbah untukku. Memberikan penghidupan yang layak untuk simbah di sisa umurnya.

Untuk menghidupiku, si Mbah menjual kripik tempe. Setiap hari Mbah harus berhadapan dengan minyak panas yang menerpa kulit keriputnya hanya untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah agar aku tetap bisa bersekolah. Kripik hasil gorengan si Mbah dibungkus dalam plastik kecil dan diantar ke warung-warung makan, dan toko untuk dititipkan di sana.

Selain keripik tempe, Mbah juga membuat peyek kacang dan rebon. Hitung-hitung untuk variasi keripik. agar orang tak bosan dengan keripik tempe. Simbah juga menerima pesanan dalam untuk orang hajatan atau misal sebagai buah tangan para tetangga yang akan pergi merantau atau untuk dikonsumsi sendiri sebagai teman nasi sayur.

Sedih rasanya melihat Mbah jungkir balik seperti itu untukku. Ketika ada yang menyakitiku, Mbah selalu menjadi pagar betis pertahanan. Orang yang pertama maju saat aku di caci dan di bully teman-temanku laksana kawanan singa yang kelaparan, menerkam dan mencabik-cabik mangsanya.

"Kamu bukan pembawa sial nduk, ibu dan ayahmu meninggal semua karena takdir. Garis hidup dari Gusti Allah. Kehadiranmu adalah anugerah dari Gusti Allah. Bukan pembawa sial seperti apa yang mereka katakan."

Terngiang kata-kata Simbah yang selalu menguatkanku. Aku bisa saja membalas perlakuan Sherly dan teman-temannya. Tapi wajah Simbah selalu menghalanginya. Karena kejadian delapan tahun yang lalu. Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar.  Saat itu aku dihina dan dicaci sebagai anak pembawa sial. Tanpa rasa takut aku melawan semua ocehan mereka yang terdengar bak burung kenari yang terus berkicau tanpa henti. Kutarik rambutnya, hingga ia kesakitan. Ku tendang perutnya tanpa ampun. Mirip orang kesetanan yang sudah dikendalikan nafsu amarah. Suara tangisan dan ampunan tak terdengar lagi ditelinga.  Hanya rasa ingin melampiaskan amarah yang menguasai diri. Hingga Bu Sri dan pak Warto datang memisahkan. Bu Sri membawa aku ke kantor, sedang pak Warto membawa sherly ke puskesmas. Memberikan pertolongan pertama karena dari hidungnya terus mengeluarkan darah, hasil dari amukanku yang membabi buta.

Kejadian itu membuatku dihukum untuk tiga hari tidak boleh ke sekolah. Katanya untuk merenungi kesalahanku. Karena walaupun melihat Sherly terluka karena perbuatanku, tak ada kata maaf pun yang terucap dari mulutku. Alasanku cuma satu, aku tidak bersalah. Sherly yang selalu mengatakan, aku anak pembawa sial. Dan Sherly lah yang seharusnya meminta maaf padaku.

Karena perbuatanku, Simbah juga harus merelakan tabungannya untuk membayar pengobatan Sherly. Meskipun orang tua Sherly tidak melaporkan masalah ini ke pihak yang berwajib dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah aku lakukan. Tetapi Simbah yang ngotot untuk membiayai semua pengobatan Sherly dan memberikan bingkisan sebagai permohonan maaf kepada orang tua Sherly. Yang tak lain tak bukan adalah keponakan simbah. Ya… aku dan Sherly masih bersaudara. Tepatnya saudara jauh, karena Mbah Marti dan neneknya Sherly kakak beradik. 

Sejak saat itu aku tak mau melakukan apapun yang membuat simbah menangis dan terluka karena perbuatanku. Bahkan saat diri diinjak-injak seperti kain bekas yang rusak dan pantas dijadikan “keset”, siapapun berhak menginjak-injak. Aku akan diam, dan membiarkan ocehan mereka berlalu begitu saja tanpa ada satu katapun yang kuambil dan kusimpan dihati. Anggap saja angin lalu. 

Saat kaki melangkah melewati Sherly dan gengnya tiba-tiba kaki ini tersangkut dan membuat tubuh oleng dan BRUUKKKKK. Seketika tubuh ini menyatu dengan tanah dan pandangan tiba-tiba menjadi gelap. Hanya suara ribut yang semakin lama semakin samar. Hingga tak ada lagi suara yang dapat ditangkap indera pendengaranku.






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Si Pembawa Sial Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang