Chapter 10

870 17 2
                                    

Keesokan harinya, Godiva bangun agak siang karena tak bisa tidur semalaman gara-gara percintaannya yang gagal total dengan suaminya. Ketika dia membuka matanya, ia melihat Godfrey sudah tidak berada di sisinya. Selimutnya menggulung kusut begitu saja di sisi Godiva.

"Di mana Godfrey?"

Perhatiannya teralih pada pintu kamar yang tertutup rapat, dan sepatu pria itu juga sudah tidak ada di sana. Kuharap kepulangannya kemarin bukan mimpi. Dia bertingkah sangat aneh, dan tak biasanya ia frustrasi seperti itu. Dia marah-marah saat aku mencoba bertanya ada apa dengannya, dan sama sekali tidak menikmati seks kami.

Semoga ini tidak berlangsung lama dan dia tidak melakukan hal itu lagi. Aku tidak akan bisa hamil jika dia uring-uringan seperti itu terus.

Apa yang harus aku lakukan padanya agar suasana hatinya membaik?

Godiva mendorong selimutnya dan bangkit duduk. Ia berdiri dan berjalan ke sudut kamar untuk membasuh perut dan kemaluannya, lalu berpakaian. Ia membuka pintu dan keluar kamar, menuruni tangga menuju ruang makan.

Pagi itu dapur dan ruang makan sudah dipenuhi para pelayan yang sibuk. Kendatipun begitu, Godiva tidak melihat Godfrey di sana. Tullia juga tidak ada di sana.

"Bibi Everill?"

Salah satu pelayan Godfrey yang berusia paruh baya yang sedang mengeluarkan sayuran serta daging babi yang sudah dipotong-potong dan siap dimasak dari keranjang makanan menoleh pada Godiva dan tersenyum sopan.

"Selamat pagi, nyonya. Kami sudah menyiapkan sarapan untuk nyonya di meja makan."

"Oh ya... Terima kasih banyak, bibi," Godiva melirik ke meja makan di ruang sebelah dan mengangguk sambil meremas tangannya. Sudah ada beberapa potong roti dan daging rusa asap yang lezat di atas meja, dan mendadak saja Godiva merasa sangat lapar. "Apa bibi bertemu dengan tuan pagi ini? Dia tidak ada di kamar saat saya bangun tadi."

Ia melihat ke sekelilingnya dengan penuh harap. Dalam hatinya ia agak kecewa, karena ia ingin melewatkan sarapan pagi ini dengan suaminya dan berbicara santai, tapi pria itu sudah keluar rumah lagi.

"Oh, tadi tuan bilang dia akan keluar pagi ini. Dia ada urusan penting dengan kepala desa, dan mungkin akan pulang terlambat. Dia juga meminta saya membuatkan sarapan yang enak untukmu, nyonya. Ia minta maaf, katanya."

"Baiklah. Saya juga tidak melihat Tullia pagi ini, Bibi Everill."

"Tullia sedang kurang sehat, Nyonya Godiva. Dia bekerja terlalu keras kemarin, mungkin dia perlu waktu untuk istirahat sejenak."

'Saya mengerti," Godiva juga merasa gadis itu mengurusnya dengan terlalu telaten, tak peduli seberapa sering ia meminta gadis itu untuk menjaga kesehatannya. "Saya akan sarapan dulu, bibi. Saya harus ke pasar untuk membeli buah-buahan segar."

"Baik, nyonya."

Setelah menghabiskan sarapannya, Godiva mengambil keranjang dan berjalan menuju pintu depan kastil yang menghadap halaman. Ketika baru saja ia melangkah keluar, angin dingin kencang bertiup menerpa dirinya dan samar-samar ia mendengar suara teriakan marah berdengung memekakkan di telinganya. Suara teriakan marah seorang perempuan, bercampur dengan suara tangisannya.

"Aku bersumpah demi anak-anakku, adikku dan adik iparku, kau tidak akan pernah bisa meniduri istrimu, Godfrey! Kau tidak akan pernah bisa memiliki keturunan sah darinya!"

Lalu suara teriakan marah itu diikuti oleh suara seorang pria yang kedengarannya jauh lebih tua.

"Jangan menyepelekan kekuatan doa anak-anak yatim, Tuan Godfrey. Mereka sudah yatim-piatu sejak mereka masih sangat kecil. Kalau bukan keluarga tabib itu yang menjaga mereka jika paman mereka tidak ada, siapa lagi?"

The Redemption of SuccubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang