Matahari perlahan tenggelam di barat, Rain yang saat itu duduk di balkon kamarnya hanya bisa memperhatikannya sambil tersenyum tipis. Dari jarah yang tidak cukup jauh, alunan kalimat mulai terdengar lewat video yang sengaja ia nyalakan.
Satu tangannya terangkat untuk mengangkat sebuah cangkir berisi teh hangat buatannya, menyesapnya secara perlahan dan merasakan bagaimana sensasi teh yang ia buat sendiri itu masuk ke tenggorokannya.
Suara video mengisi semua sudut kamarnya, ia memang sengaja mengeraskan volume, tanpa niat dan tujuan apapun. Dia hanya ingin melakukan hal tersebut.
Hidup memang tidak selalu diutamakan dengan kata cinta, banyak hal yang wajib di sertakan dalam percintaan seseorang. Kepercayaan dari masing-masing pihak contohnya. Tetapi sesuatu yang tidak terbalaskan, bukan berarti menjadi kesedihan.
Rain ingat, bagaimana sebuah ukuran nama tertata dengan sangat rapi di dalam pikirannya, bahkan hingga saat ini. Namun sayangnya, nama tersebut hanya bisa ia tempatkan dalam sebuah ruang yang sengaja ia buat. Tempat yang dikhususkan dengan sebuah kerangka indah dari setiap kisahnya.
Satu persatu, bulir air mulai turun dari langit. Rain yang menyadari hal itu langsung bergerak cepat untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Ia menghela nafas panjang, pandangnya menatap lekat bulir air yang semakin banyak turun membasahi permukaan bumi. Gadis itu bukannya tidak suka dengan hujan datang, hanya saja waktunya turun tidak tepat. Waktu sore yang biasanya ia gunakan untuk santai, memperhatikan banyak orang yang berlalu lalang dengan kebahagiannya masing-masing jadi terganggu.
Diantara remangan lampu kamarnya, Rain memilih untuk merebahkan tubuhnya di ranjang, sebelum itu, cangkir yang berisi teh hangat tadi, sudah ia taruh di atas nakas.
Matanya menyipit saat sebuah cahaya putih seakan-akan ingin menembus kedua bola matanya, nafasnya terengah-engah bersamaan dengan detak jantungnya yang bergerak dua kali lebih cepat.
Dan, cerita inipun dimulai.
"Tidak mungkin ada banyak materi yang tersimpan secara tiba-tiba di otak tanpa membaca atau melihat apapun" Rain mengeluh. Nara yang sejak tadi berbicara tentang gadis itu yang bisa tahu semua materi tanpa membaca atau melihat, membuat Rain naik tikam. Mana bisa hal seperti itu ada, kalaupun IQ yang dimiliki tinggipun, tidak akan ada hal seperti itu.
Materi muncul secara sendiri, mustahil.
Kalau memang bisa seperti itu, untuk apa gadis itu sekolah. Bukannya pintar itu sudah terjamin?
Pagi ini, di dalam sebuah ruangan. Rain terus mengeluh karena ucapan Nara. Perbincangan bodoh sangat tidak bermutu itu di tanggapi oleh dua gadis, kurang kerjaan.
Di sudut ruangan, ada seseorang yang memperhatikan sejak tadi perdebatan kedua adik tingkatnya itu. Ia deskripsikan bahwa keduanya berteman baik.
Awalnya ia tidak ingin menanggapi, tapi karena keberadaan di satu ruangan yang sama dengan kedua orang tersebut. Jadilah ia mendengar semua omongan tidak bermutu itu.
"Kalian boleh duduk di tempat masing-masing, aku mau bagiin kertas jawaban"
Diandra memerintah semua orang yang ada di kelas itu. Gadis itu berjalan dengan sopan menuju setiap meja yang ada di ruangan untuk membagikan kertas jawaban yang akan di gunakan untuk ujian nanti.
"Rileks" Atahla Reynand, pria yang sejak tadi mendengarkan perdebatan Rain dan Nara itu, tersenyum tipis saat alih-alih Rain mengucapkan kata semangat sambil mengepalkan tangannya. Berharap apapun soal yang ia kerjakan nanti, bisa terjawab dengan mudah.
"Jangan bengong, kak" gadis yang duduk di sebelah Reynand tiba-tiba saja menegurnya dengan cara menepuk bahunya.
Reynand yang sedikit linglung dengan situasi tersebut hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil tersenyum canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALINI
FanfictionRibuan, bahkan jutaan detik aku serahkan semuanya pada sebuah kisah, dengan suasana hujan yang menjadi saksi. Bahwa ada banyak arti dari satu kalimat, dan di saat itu, aku tersenyum tipis karena sadar, bahwa semuanya adalah sebuah sejarah yang aku d...