"Gk ada kabar lagi? Kamu tau kan harus gimana?"
Aku menghela nafas panjang, mencari kelegahan atau mengeluarkan kekesalan. Untuk saat ini keduanya terasa sama.
"Kamu tau kan, kata saling itu tidak berlaku kalau sendiri?"
Kembali aku menatapnya kosong oleh perkataannya. Ia tahu situasiku akhir akhir ini. Logika ini ingin sekali beranjak tapi hati seolah tertahan karna terikat lamanya ia berdiam disana.
"Iyaa, aku paham, sangat paham. Tapi" jawabku.
"Yasudah terserah kamu aja, kalau kata tapi itu begitu berat buatmu. Jangan buang buang energi cuma buat berlari sendiri" lanjutnya lagi.
"Anterin aku pulang" lanjutku sebelum tambah dihujat sama anak ini. Aku menyeretnya kearah parkiran.
"Kalau aku nyerah, gimana aku kedepannya?" Kataku tibatiba.
Hal besar yg ada diotakku ketika pada akhirnya keadaan mengharuskan kalau aku harus mundur. Ketika aku harus menghentikan apa yg sudah kubiasakan sejak lama, ketika aku harus mematikan perasaanku.
"Cha, selama ini aku transparan ya buat kamu?" Katanya lebih sadis dan agak meninggi dari pada yg tadi.
"Maksudnya?"
Dia terdiam. Perjalanan sampai ke rumahku sekitar 10 menit. Hari sudah sore, lampu dipinggir jalan juga sudah terlihat kilaunya. Lalu lintas sore lumayan ramai, biasa waktunua orang pada balik kantor, pulang sekolah, pulang kuliah atau sekedar jalan jalan menikmati matahari sore yang sangat pas untuk menaruh beban setelah seharian beraktivitas.
"Von, aku pinjem catatan Lo yg hari ini yaa. Besok aku balikin" kataku memecahkan suasana yg sejak tadi terdiam. Dan aku mencoba mengalihkan tatapan pada layar handphobe yg seharian ini menjadi pusat perhatianku. Menantikan ada notif masuk, walau itu hanya sekedar pesan singkat.
Jevon berdehem mengiyakan sambil terus konsentrasi nyetir. Dia udah gemes banget dengan keadaanku saat ini, untung dia sabar. Aku meraih tasnya dikursi belakang.
"Besok mau berangkat bareng gak?" Tanyanya.
"Boleh, toh sekalian jalan kan, Lo" jawabku.
Sudah gelap dan kami sampai dirumahku dengan selamat. Seperti biasa Jevon hanya mengantar sampai depan gerbang rumah.
Dari ujung terlihat seorang dengan motor gedenya nangkring di depan pagar rumahku. Sudah bisa ditebak siapa dia. Aku melirik Jevon yg dibalas dengan lirikannya pula. Aku tersenyum. Seolah penantianku seharian ini terbayar sudah."Thanks Von, ati ati Lo" kataku, yg mulai sumrigah karna seseorang yg sudah menunggu didepan sana. Jevon tak membalas dan langsung tancap gas.
Aku segera menghampiri yg sudah menungguku, orang yg membuatku galau seharian ini tanpa kabar. Ternyata sudah disini aja. Ahhh senangnya
"Hei" kataku, sambil melambaikan tangan mendekatinya.
"Jevon lagi? Dari mana kalian?"
"Tadi kan latihan teather, kaya biasa"
"Ohhh" jawabnya singkat. Lhooo.
"Ohhh?? Kamu yg udah mulai susah kasih kabar. seharian ini kemana? lupa kalau ada aku di dunia ini?" kataku, sebel dengan responnya, yang ternyata diluar harapanku.
"Udah tau kan kalau aku latihan basket. Terus harus banget ya kalian sedeket itu kemana mana" Balasnya mengalihkan pembicaraan.
"Latihannya seharian? gk ada jeda sama sekali? Wahhh hebat juga tim basket sekolah ya" jawabku tak mau kalah.
"Gk usah ngalihin pembicaraan. Udah lah kamu sama Jevon jangan deket deket. Gk risih apa, deket sama orang lain yg bukan pacarnya" katanya lebih meninggi lagi.
"Lho, kalau gk ada Jevon, aku sendiri. Toh kamu yg entah kemana"
"Gk usah bahas Jevon lagi kalau cuma buat bahan ribut"
"Apaan si, jangan jadikan Jevon alasan kamu nyalahin aku ya"
"Ohh kamu lebih belain dia? Okee terserah" ia melaju kencang dengan motornya.
Meratapi betapa keselnya jadi aku yg harus menghadapi situasi seperti ini. Aku yg merasa benar tapi salah di matanya, dan dia yg selalu ingin dianggap benar tapi salah bagiku. Serumit ini kisah kita di tahun ke dua. Keselllll.
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombak bawah laut
Teen FictionMenyelam terlalu dalam sampai lupa caranya berenang kepermukaan. Chaca yang selalu ingin beranjak tapi seolah ditahan oleh keadaan. Dan Jevon yg siap menariknya kembali kepermukaan walau tahu itu bukan hal yg mudah, karna Saka dengan kelebihannya m...