11 - Batavia dan Hubungan Kita(?)

216 25 23
                                    

Selamat membaca.
Jangan lupa tekan bintangnya.

.

Colek aja kalau ada yang keliru, ya. 😁

.

"Woi, Adhisty!" Suara Suketi yang melengking nyaring langsung menyambut telinga gue setibanya di kampus.

Malas-malas gue mendudukkan diri di sampingnya. Percuma juga gue menghindar, dia akan terus mengejar sampai utang penjelasan dari gue-soal pesannya semalam-dibayar lunas.

Gue berharap banget dosen hari ini masuk lebih awal meski masih ada beberapa menit sebelum kelas dimulai.

"Dhis! Lo-"

Gue mengangkat tangan kiri, menunjukkan pada Suketi kilau sesuatu yang melingkar di jari manis sebagai konfirmasi dari pertanyaan yang mungkin saja saat ini masih membeludak di kepalanya.

Mata lebar Suketi langsung membola.

"Jadi beneran?"

Gue menghela napas panjang. Pertanyaan Suketi belum semuanya terlontar, tapi gue udah capek duluan.

"Nanti aja deh, Suk, dosen dah masuk," kata gue sambil menunjuk ke depan dengan dagu.

Pak Seno, dosen yang usianya lebih dari setengah abad sudah mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan empat puluh mahasiswa. Dibantu Andreas, si ketua kelas, beliau langsung menyiapkan layar proyektor yang menampilkan slide power point perihal hukum administrasi negara.

Suasana langsung hening begitu Pak Seno menggaungkan salam pembuka. Tapi tidak dengan Suketi. Dia masih saja mencuri-curi kesempatan mencondongkan tubuh ke gue dan terus melempar tanya yang begitu mengganggu seperti;

"Serius, Dhis?"

"Jadi sekarang lo punya suami, Dhis?"

"Sekarang lo hamil, Dhis?"

Ck! Hamil my ass!

"Tolong yang belakang silakan keluar!"

Mampus!

Begitu suara tegas Pak Seno menggelegar, Suketi langsung kicep. Gue menahan tawa melihat ekspresinya yang menegang. Sepertinya anak-anak yang lain juga begitu.

Suketi tetap bergeming di tempat, enggak beranjak keluar sesuai perintah Pak Seno. Mungkin dia cuma menganggap itu cuma teguran sebagai peringatan belaka. Hanya kata maaf saja yang mencuri keluar dengan lirih dari lisannya. Lalu tiba-tiba saja dia melirik tajam ke arah gue.

Lah, salah gue apaan?

Perkuliahan kembali kondusif, meski ada kesan menegangkan yang menekan samar-samar.

Kata orang, waktu akan berjalan lambat ketika sedang merasa bosan atau jenuh. Bahkan ada ilmuwan yang menjelaskannya secara teoretis. Begini yang gue rasakan saat ini.

Jika tadi gue ingin dosen masuk kelas lebih cepat untuk menghindari Suketi, kali ini gue tarik omongan itu. Mata kuliah Pak Seno yang berat membuat otak gue mengepul karena dibebani kasus, pasal-pasal, sampai putusan penyelesaiannya. Beban SKS-nya empat, tapi rasanya lama seperti berabad-abad.

Sial! Sudah enam semester ini, gue malah merasa salah jurusan ...

"Adhis!"

... juga salah memilih kawan.

Suketi kembali berkoar begitu Pak Seno menutup perkuliahan dan keluar dari kelas. Beberapa mahasiswa lain juga mulai meninggalkan ruangan ini, sementara gue dan Suketi memilih tetap di sini. Toh, kelas enggak akan digunakan karena masuk jam makan siang.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang