Aiza menggeser pintu kaca ke sisi kanan sehingga jalan masuk lebih luas.
"Pulang lebih awal?"
"Iya, ada rapat guru hari ini," balas Aiza lalu mencium punggung tangan bibinya.
Aiza meletakkan tasnya di sofa dekat televisi yang terhubung langsung dengan toko bunga. Di sisi kursi panjang itu ada seorang anak laki-laki tergeletak pulas dengan satu kaki terangkat ke sandaran sofa. Lelap sekali sampai-sampai tak terusik ketika Aiza menarik sekilas hidung mungilnya. Ruko minimalis itu memang tidak didesain untuk sebuah keluarga besar. Namun, itu sudah sangat cukup dan nyaman bagi seorang ibu dan satu anaknya.
Hampir tiga tahun Aiza memilih menetap di sana. Suasana rumah yang tidak menyenangkan membuatnya beralasan bahwa tinggal bersama bibinya akan memudahkannya untuk datang ke sekolah lebih awal. Itu memang hanya alibi palsu, mengingat jarak rumahnya tidak begitu jauh dengan sekolah. Entah kapan dia akan terus menghindar.
"Sepertinya bunga lily ini akan cocok untuk hari pernikahanmu," ujar Bibi Indira tiba-tiba.
Kening Aiza berkerut sempurna. "Apa itu tadi? Pernikahan?" Aiza tergelak. "Bisa-bisanya Bibi mengatakan ini pada remaja yang baru saja berumur tujuh belas tahun."
Bibi Indira tersenyum lebar. "Bibi hanya bercanda, karena terpesona dengan bunga yang bibi rangkai sekarang." Ia memutar buket lily putih itu menghadap Aiza. "Cantik, kan?"
Aiza mendekat. "Dibanding bunga lily, aku lebih suka dengan baby edelweis ini. Bunga keabadian," katanya sambil meraih seikat edelweis.
Aktivitas Bibi Indira terhenti seketika. Lengkung senyumnya melurus. Memandang satu titik berusaha mengingat sesuatu.
"Kenapa, Bi?"
"Kenapa bisa kebetulan begitu, ya?" tanya Bibi Indira, bermonolog. "Seingat Bibi, ibumu juga suka dengan bunga edelweis sejak muda."
Mendengar itu, bunga ditangan Aiza perlahan ia lepaskan. Giliran dia yang tertegun. Ia Lantas duduk di salah satu kursi setelah mengusap gusar wajahnya sesaat. Bukan karena kesal, tapi hanya tak mau lagi mengkhayal hal yang mustahil.
"Beruntungnya yang pernah melihat Ibu," lirih Aiza.
"Heh, kenapa bilang begitu?"
"Aku cemburu. Kalian semua pernah melihat Ibu, kecuali aku."
"Tidak juga." sanggah Bibi Indira. "Bagaimana dengan Rei dan El? Mereka juga tidak pernah melihat ibumu."
"Bi!" Aiza berdiri penuh jengkel. "Itu tidak lucu."
Wanita berkerudung merah muda itu menatap pita di tangannya. "Meski kau tidak pernah melihat ibumu secara langsung, tapi ikatan kalian sangat kuat. Percaya atau tidak, kalian punya banyak kesamaan."
"Itu masih tidak membuatku merasa bertemu Ibu."
"Nah! Ini salah satunya!" seru Bibi Indira. "Kalian sama-sama keras kepala. Lalu kau ingin bagaimana? Apa Bibi harus mendatangkan ibumu dengan mesin waktu?"
Kali ini Aiza terdiam sejenak. "Apa Ibu suka buah pir?"
Bibinya mengangguk. "Apalagi yang banyak airnya."
"Apa Ibu juga suka warna pastel blue?"
"Dia suka semua warna pastel."
"Apa ibu menyayangi Ayah?"
Bibi Indira mengernyit. "Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja ibumu sangat menyayangi ayahmu, begitu juga sebaliknya."
"Itu berarti aku tidak mirip dengan Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
CONSEMA
Misterio / SuspensoDemi lebih dekat dengan siswanya, SMA Noesantara akan menyeleksi konselor muda dari kalangan siswa tiap tahunnya, yang dikenal dengan 'Consema'. Insiden beberapa tahun silam kembali menyapa. Reputasi sekolah memburuk setelah berita seorang siswi bu...