Roma, Italia
"Tuan, beberapa waktu lalu anggota perusahaan yang berada di Indonesia tak sengaja melihat seseorang yang mirip dengan Nona Vena. Saat ini, mereka sedang berusaha mencari identitasnya, apakah memang benar Nona Vena atau bukan." Dengan jas rapi warna hitam, seseorang melapor kepada atasannya.
Pria di atas kursi kerjanya itu terlihat berpikir. Sekejap kemudian menghela napasnya panjang. "Laporkan terus. Lalu, bagaimana dengan anak itu? Kurasa, ayahnya. akan semakin tak waras jika anak itu tidak ditemukan,"
"Keberadaan teroris itu terus berpindah-pindah, minggu lalu mereka masih berada di New York. Kemarin baru pergi lagi ke Singapore, tim kita sedang menuju ke sana hari ini."
Brakk. Tangan pria itu menggebrak meja di hadapannya dengan keras. "Lamban sekali. Sudah tiga bulan sejak kita berhasil menemukan mereka di Jerman, DAN SAMPAI SEKARANG BELUM TERTANGKAP?! Jangan sampai membuatku turun tangan mengenai masalah ini!"
"Baik, Tuan." Pria berjas hitam rapi itu mengangguk dan menunduk dalam-dalam kepada atasannya itu.
Bukan hal mudah menangkap para penjahat seperti mereka. Sekumpulan teroris itu sangat pandai mengendap-endap memasuki sebuah negara, merampok, membunuh, berjudi, hingga menculik gadis-gadis dari berbagai negara untuk dijadikan sebagai pelayan atau sekedar pemuas nafsu. Ketika sudah banyak yang mereka rampas dari kota-kota di seluruh dunia, mereka akan pergi lagi mencari mangsa baru.
••——🎈 ——••
Di tempat sepi itu, seorang lelaki yang masih mengenakan seragam SMA berbalut jaket levis bewarna biru berjalan mendekati salah satu gundukan tanah yang kurang terurus.
Ia berjongkok, lalu mencabuti rerumputan liar yang tumbuh di atas makam itu. Mati-matian lelaki yang masih remaja itu menahan tangisnya yang ingin lolos.
"Ma, maaf Avan baru jenguk mama." Avan berucap dengan lirih.
"Aria sama mama kan? Dia baik-baik aja kan?" air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh juga.
Aria adalah satu-satunya adik Avan yang hilang dua tahun yang lalu karena sebuah tragedi.
Seketika ia mengepalkan tangannya mengingat kejadian itu. Di mana menurut Avan, kejadian itu membuat seseorang harus mendapat karma yang lebih besar.
"An ..." harusnya dulu lo nggak ninggalin Aria.
••——🌠——••
Gadis itu bersyukur, keadaan rumah saat ini sedang sepi. Tak ada yang menggertak atau memarahinya malam ini.
Baru beberapa langkah ia berjalan, seseorang muncul dari arah dapur. Seorang lelaki yang kini tersenyum smirk melihat kedatangan gadis itu.
"Babu udah pulang?" Tanyanya dengan satu tangan berada di saku celananya.
Valyn tak menghiraukan lelaki yang adalah anak sulung seseorang yang dipanggilnya ayah. Ia kembali berjalan, namun tangannya dicekal oleh lelaki itu—Nero Anderson. Kembaran dari Nara Laurensia.
"Seneng ya? Numpang di rumah orang?" tanya Nero mengejek.
"Seneng ya? Gak dianggep keluarga sendiri?" tanya balik Valyn membuat Nero menggeram marah, lalu mendorong Valyn hingga punggungnya menabrak dinding dekat tangga.
"Tau apa lo tentang gue?" bentak Nero bertanya.
"Lah lo sendiri tau apa tentang gue?" balik Valyn tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Ice (On Going)
Teen FictionTentang Miss ice, segala lukanya, dan rahasianya. • Update 2 minggu sekali •