12. Lembar Kedua-belas

992 149 4
                                    

Happy reading!!!

Darren mungkin merasa sakit, tapi jika dipikir-pikir lagi, bukankah Ansel yang lebih sakit disini?

Sejak lahir ia tak pernah bertemu dengan Ibunya sama sekali.

Tak hanya Darren saja, Ansel juga merasakan itu.

Apakah jika rasa sakit itu dipersatukan akan membuat luka baru? Atau malah saling menyembuhkan?

Ceklek

"Darren."

"Tante? Sejak kapan Tante disini?" Darren menghampiri sang Tante yang sedang duduk di sofa ruang tengah sudah dengan baju tidurnya.

"Darimana kamu?"

"Rumah temen."

"Udah makan?"

"Udah tadi di jalan mampir dulu." Jawab Darren.

"Tante nginep?" Tanyanya.

Auryn mengangguk. "Duduk dulu sini, Tante mau ngomong."

Darren duduk beralih duduk di sebelah sang Tante.

"Masih gak bisa ya?" Tanya Auryn lembut seraya mengelus kepala Darren yang bersandar di bahunya.

Darren tau kemana arah pembicaraan Tantenya itu.

"Pelan-pelan Darren. Kalo kamu mau, kamu pasti bisa."

"Udah berapa lama coba? Hampir tujuh belas tahun."

Darren hanya diam saja.

Auryn menghela napas, "Life goes on. Semua tetap berjalan seperti seharusnya, dunia terus berkembang. Masa kamu tetap terperangkap masa lalu terus? Sampai kapan, Ren?"

"Ibu kamu, Ayah kamu, pasti sedih ngeliat kamu kayak gini."

Terdengar helaan napas berat, "Semuanya terasa berat buat aku, Tan."

"Hidup ini gak adil buat aku. Takdir dengan mudahnya mengambil orang yang aku sayang."

"Ansel? Apa kamu gak sayang sama dia?"

"Tante yakin, sejauh-jauhnya adek-kakak pasti tetap ada ikatan batin diantaranya."

Sebenarnya Darren selalu merasa sesak setiap habis memarahi atau bersikap kasar pada Ansel.

"Sayang, denger Tante. Ini semua takdir. Ansel lahir bukan semata-mata ia yang meminta, tapi sudah takdir yang diberikan Tuhan untuk ia hidup."

"Orang tua kamu meninggal itu juga takdir. Kamu sebagai hamba-Nya, seharusnya menerima dan menjalani dengan ikhlas apa yang sudah ditakdirkan-Nya."

"Dulu, pada saat kedua orang tua Tante meninggal, Tante juga sama kayak kamu. Merasa terpukul."

"Tante tau seberapa sakitnya. Saat itu Tante udah SMA, tapi Tante merasa seperti anak kecil yang masih membutuhkan kedua orang tua Tante."

"Tante merasa gak bisa hidup tanpa mereka. Tante belum siap mandiri."

"Apalagi kamu yang sedari kecil sudah dipaksa untuk mandiri? Tante tau rasanya, Ren. Tante paham."

"Tapi, bukankah kita harus bangkit? Gak mungkin kamu kayak gini teruskan?"

"Kapan kita mau maju kalo masih stuck di hal-hal itu aja? Belajar mengikhlaskan, sayang. Tante tau gak mudah buat kamu, tapi apa salahnya dicoba?"

"Kita gak ada yang tau apa yang akan terjadi besok atau kedepannya. Tante cuma gak mau kamu nyesel karena belum sempat ngelakuin sesuatu."

Darren tak menyahut sama sekali. Ia memilih menenggelamkan diri dalam pelukan sang Tante.

Apa ini saatnya gue mulai menerima dia dan memulai hidup baru?




.....




"Good morning, Mama!"

"Mama?" Ansel yang sedang memeluk Tantenya itu kaget.

Sejak kapan Abangnya ada disitu?

"Sekarang Ansel manggil Tante, Mama." Jelas Auryn.

"Darren mau manggil Tante, Mama juga?" Darren menggeleng lalu melanjutkan sarapannya.


"Ansel, duduk gih sana. Makan sarapannya juga."

Ansel dengan ragu duduk di sebelah Darren. Takut-takut Abangnya itu tak mau berdekatan dengannya.

Memang sejak keributan waktu itu, mereka berdua belum pernah berbicara lagi. Bahkan Ansel merasa sedikit takut. Takut jika apa yang ia lakukan salah di mata Abangnya itu.

"Makan yang banyak sayang-sayangku!" Auryn tersenyum melihat pemandangan paginya kali ini. Darren sepertinya sudah mulai membuka diri untuk menerima adiknya itu.

Sudah dua hari ini Auryn tidak pulang ke rumahnya. Ia memang sengaja ingin menghabiskan waktu bersama kedua ponakannya ini.

Perihal sang anak, Auryn yakin Jonathan pasti mengerti.

"Ntar siang kalian kosong atau ada urusan lain?"

Keduanya kompak menggeleng. "Gak ada." Jawab Darren.

"Nah, cakep! Bantuin Tante ngurusin taman rumah kalian ya. Soalnya sayang banget, tanamannya banyak yang gak keurus. Mau Tante kasihin bunga biar bagus."

Tapi Ibu alergi bunga, batin Darren.

"Eumm, bolehkan?"

Ansel tak menjawab, ia menunggu persetujuan sang Abang. Ansel memang pernah mendengar bahwa Ibunya itu alergi pada bunga. Makanya tak ada satupun bunga di rumah ini.

"Boleh." Jawab Darren pada akhirnya.

Bukannya ia tak menghargai ketidaksukaan Ibunya, tapi hidup harus tetap berjalankan? Tandanya Darren harus move on dari masa lalu dan membuka lembaran baru untuk melukis masa depan. Ia harus terbiasa dengan setiap perubahan yang terjadi dalam hidupnya.

Auryn tersenyum semakin cerah mendengar perkataan ponakannya itu. Tak hanya ia, Ansel pun kaget dengan perkataan Abangnya yang otomatis mengizinkan sang Tante untuk menanam bunga di taman mereka.

"Kalo gitu kalian mau bantukan? Harus mau pokoknya, Tante maksa!"

"Belum juga dijawab mau atau enggaknya." Darren memijit pelipisnya. Akhir-akhir ini ia sering merasa pusing. Mungkin karena kurang istirahat.

"Mau gak mau, Tante tetep paksa kalian!"

"Iya-iya terserah Tante."

Ansel kali ini lebih memilih diam. Dengan duduk bersebelahan dengan Abangnya seperti ini saja sudah membuatnya merasa senang bukan main.

"Ngapain lo senyum-senyum?"

Waduh Ansel keciduk. "Hehehe, enggak."

































To be continue

Jangan lupa vote ❤

Surat Untuk Abang || Jihoon & Junkyu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang