Selamat membaca!
"Ini hanya perasaanku saja atau kamu sejak tadi sedang memerhatikan Frans?" Thea menatap Ellanor dengan aneh. Dia mengangkat sebelah alisnya, mengulum senyum agar tidak membuat teman sebangkunya itu tersinggung.
Ellanor yang sejak tadi memperhatikan si cupu tersentak kaget. Dia menoleh dengan kepala kaku. "Hah?" tanyanya tak mengerti, atau pura-pura tak mengerti.
Thea menunjuk si cup dengan dagunya. "Itu."
"Tadi kamu bilang dia siapa?" Ellanor malah penasaran dengan nama pria itu. Dia juga sempat mendengar Thea yang menyebut namanya.
"Frans. Francis de Luca," jelas Thea dengan sabar.
Ellanor mengangguk kepala pelan. Dia kembali menatap si cupu yang bernama Frans. Nama yang bagus, pikirnya. Bibirnya tertarik membentuk senyum miring. Pemuda itu seakan memiliki magnet sendiri di matanya.
"Kamu ada masalah sama dia?" tanya Thea lagi. Dia sangat penasaran dengan cara Ellanor memandang Frans. Bukan tatapan merendahkan seperti orang-orang, tapi lebih pada tertarik? Thea langsung berkedip cepat. Tatapannya tak mungkin salah. Namun jikapun benar, dia malah merasa aneh sendiri. Tidak mungkin selera Ellanor sejelek itu, kan?
Ellanor memberikan senyum tipis. Dia membenarkan posisi duduknya hingga berhadapan dengan Thea. "Aku baru tahu di sekelas sama kita."
"Dia sudah lama sekelas sama kita." Thea memutar bola matanya malas. "Lagipula bagaimana kamu mau tahu jika selama ini kamu bahkan sangat acuh pada sekitar. Namaku saja kamu baru tahut tadi," sindirnya telak. Thea sebenarnya agak syok saat Ellanor menanyakan namanya. Padahal sejak tadi mereka sudah terlihat sangat akrab dan berncanda, tapi di tengah jalan Ellanor malah menegaskan sekali lagi bahwa mereka tidaklah sedekat itu.
Ellanor malah mengangguk. Dia tidak mengindahkan sindiran Thea. "Benar juga."
"Jadi jelaskan. Kenapa kamu memandang Frans seperti tengah tertarik saja," tuntut Thea yang sangat penasaran dengan sikap Ellanor sejak tado.
"Hmm, bukan tertarik. Tapi penasaran. Kamu lihat dia?" Ellanor mengode Thea agar mengamati Frans secara diam-diam. "Meski penampilannya cukup cupu, tapi wajahnya nggak mendukung. Dia memiliki rahang yang tegas serta tatapan tajam. Bahkan saat orang-orang memberikan tatapan merendahkan, dia hanya membalas dengan tatapan lurus. Rasanya dia nggak cocok jadi cupu."
Thea menganga mendengarkan penjelasan detail dari Ellanor. Dia bukan hanya fokus mengamati Frans, tapi juga bergantian mengamati Ellanor. Padahal Thea saja tidak pernah mengamati Frans sedetail itu. Thea hanya tahu jika Frans termasuk siswa introvert yang bahkan selalu menolak pertemanan dan berdiam sendirian. Sekarang setelah mendengar penilaian dari Ellanor, Thea jadi ikut memperhatikan.
"Eh, dia melihat kemari!" heboh Thea saat mendapati Frans yang sedang menatap ke arahnya
Ellanor juga menatap pria itu, memberikan senyum miring yang langsung membuat Frans membuang muka. Perempuan itu sampai ingin meledakkan tawanya. Entah kenapa dia malah terhibur sendiri. Wajah Frans saat tengah kesal sangat ketara. Pria itu seakan tidak hebat menyembunyikan ekspresi wajahnya.
"Lihat! Dia terliahat malu."
Thea menggelengkan kepalanya pelan, tak habis pikir dengan jalan pikiran Ellanor saat ini. Memang apa lucunya Frans? Bahkan pria itu hanya membuang muka setelah memberikan tatapan tajamnya.
"Sudahlah. Jangan terlalu sering menatap dia. Nanti kamu malah jatuh cinta," goda Thea dengan kerlingan matanya.
Ellanor mendengus keras. Kedua tangannya bersidekap di depan dada dengan gaya angkuhnya. "Mana mungkin. Dia bukan tipeku," ketusnya. Dia tidak berbohong. Ellanor hanya merasa tertarik, tidak lebih.
Thea tertawa kecil. Dia tidak berniat mendebat Ellanor. Biar saja pikirnya. Meski saat ini mereka bisa dikatakan dekat, Thea tidak cukup berani untuk terlalu ikut campur masalah Ellanor. Dia masih ingat bagaimana ganasnya perempuan di sebelahnya ini. Jika saudaranya saja bisa dibanting, bagaimana dengan nasibnya yang baru dekat? Ellanor mungkin bisa saja mematahkan semua tulang-tulangnya.
***
Sedangkan di kelas lain, empat pria tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Guru yang mengajar sudah keluar sejak lima belas menit lalu. Guru tersebut hanya masuk dan memberikan soal lalu pergi begitu saja. Itu hal biasa bagi mereka. Karena di sini semua siswa lebih dituntut untuk belajar mandiri. Tidak ada keluhan sedikitpun dari siswany. Mereka malah lebih senang belajar mandiri karena artinya mereka bisa lebih kreatif dengan apa yang sedang mereka kerjakan.
"Tadi aku nggak liat Ellanor sama sekali," celetuk Nathan yang sudah mendongak dan menatap si kembar bergantian. Kedua alisnya bahkah hampir menyatu.
Carlos hanya mengedikkan bahu tak peduli. Beda dengan Calton yang terdiam. Pikirannya beberapa hari ini selalu tertuju pada si bungsu. Apalagi tadi malam Dom kembali mengingatkannya untuk membawa Ellanor ke rumah. Jika tidak, lelaki paruh baya itu bisa membawa Ellanor dengan cara paksa. Dan hal itu jelas tidak akan disukai oleh mereka.
"Biasanya dia selalu nyamperin kalian saat istirahat. Apa jangan-jangan dia memang sudah berubah, ya?" imbuh Nathan seakan bicara sendiri karena tidak ada yang menanggapi ucapannya. Pria itu mendengus kesal. "Tapi baguslah. Kasian juga kalo dia masih sering nempelin kalian."
"Kenapa?" Calton menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan tak suka.
Nathan memberikan cengiran kaku, merasa aura kawannya itu terlalu menekannya. "Ya, kan kalian juga lega gak selalu ditempeli sama Ellanor."
Calton mendengus, tak lupa dengan tatapan tajam yang membuat Nathan menciut.
'Lah salah lagi?' batin Nathan ngenes.
Lalu tatapannya beralih pada Drake yang sejak tadi sibuk dengan tab-nya. Nathan melirik sekilas, lalu berdecak kala melihat apa yang sedang dikerjakan temannya itu.
"Ckk, pebisnis muda mah beda. Mainnya bukan lagi game mobile, tapi udah saham," sindirnya dengan wajah tertekan. Bagiamana tidak. Selain iri, Nathan merasa paling rendah di antara teman-temannya.
"Berisik!"
Nathan kembali bungkam. Dia memilih sibuk dengan tugasnya daripada menganggu ketiga temannya yang selalu emosi akhir-akhir ini.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalasan Antagonis (REPOST)
FantasyVicy Ellanor sudah terlalu banyak terluka sampai jiwa lemahnya tenggelam dan lahir jiwa yang baru. Tidak ada lagi air mata dan sosok lemah, Ellanor seakan menjadi sosok baru yang tidak bisa disentuh oleh siapapun. Tujuan hidupnya hanyalah memberi pe...