Chapter 29 - Perubahan

29 8 0
                                    

Malam harinya, aku sendirian di kamar. Usai menulis catatan di buku harian, aku membaca salah satu buku tentang kreasi daur ulang. Masih ingat dengan ucapan aku ketika berdebat dengan kakek Borhan? Aku harus buktikan kalau kertas bisa di-daur-ulang.

 Masih ingat dengan ucapan aku ketika berdebat dengan kakek Borhan? Aku harus buktikan kalau kertas bisa di-daur-ulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesaat suara Charlie terdengar. "Sarah, kamu tidak pergi?"

Oh, aku justru berpikir lelaki itu pergi dengan yang lain. "Buat apa kesana kalau cuma disuruh ikut bersih-bersih kampung? Aku pikir kamu yang ikut pergi."

Charlie mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu selamat ma—"

"Tunggu! Bisa kamu kesini? Aku ingin tanya sesuatu." Aku menyuruhnya tiba-tiba.

Charlie menurut lalu masuk ke dalam kamar. Dia pun duduk di sampingku.

"Kalau kampung ini akan ditutup dan tak ada jalan keluar, kamu nanti bagaimana?" tanyaku.

Dia terdiam. Mungkin ia baru saja mengetahui tentang itu.

"Kamu tidak lanjut jelajah tempat lain lagi?" tanyaku lagi. "Mungkin sebaiknya kita keluar untuk cari jalan—"

"Lalu kamu sendiri bagaimana?" Mendadak dia berbalik tanya.

"Eh, itu...," aku merasa ragu, "aku... akan tetap disini."

"Baiklah. Kalau begitu aku juga akan tetap tinggal denganmu."

"Eh, dan jelajah yang kamu lakukan itu?"

Charlie menggeleng pelan, namun diam-diam tersenyum. "Aku bisa saja kembali ke Batavia setelah kesini. Tapi tidak sekarang, aku ingin disini lebih lama lagi."

"Jadi sekarang... kamu benar-benar sudah dapat sesuatu yang menarik di kampung ini?" Aku mulai takjub.

Dia mengangguk. "Ada satu hal yang aku sukai hingga ini tetap disini."

"Dan... apa itu?"

Aku tidak tahu mengapa, lelaki itu malah menatap diriku begitu lekat. Tunggu, kalau begitu yang dia maksud...

itu berarti...

sebentar...

aku...

Duh... tangan nakal!

Tolong jangan buat ulah lagi!

Lihat, dia langsung menangkap tanganku lalu entah mengapa dibawa ke pipinya langsung. Tanganku seolah memegang pipinya yang—tak disangka—lembut. Iya aku sudah merasakannya waktu menonton acara wayang di kampung kemarin. Namun kali ini...,

"Jadi ini sebabnya aku merasa nyaman saat tidur di pangkuanmu," ucapnya pelan. Dia menempelkan tanganku di pipinya. "Bisa kamu lakukan lagi untukku?"

Lama-lama aku jadi gugup. "Oh, waktu itu aku hanya iseng sentuh-sentuh wajahmu. Maaf kalau tanganku ini agak—"

"Tidak apa. Aku justru menyukainya." Lelaki itu menarik nafasnya sejenak. "Aku memutuskan tetap tinggal disini... karena dirimu."

Oke, aku kehabisan kata-kata sekarang. Dia mengaku padaku... kalau begitu.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang