Bab 6 Anak Jalanan

18 9 1
                                    

Motor butut itu melaju pelan, suasana kota sangatlah padat dengan kendaraan. Pratu Runi pun segera memarkirkan motornya di dekat trotoar.

"Selamat sore, Pak," sapa seorang polantas.

"Iya, ada apa, Pak?"

"Silakan perlihatkan surat-surat kendaraan Anda!"

Runi pun mengambil dompetnya dan mencari STNK dan SIM-nya. Sebuah kartu terjatuh saat ia menyeret STNK-nya keluar dari dompet.

Ia pun berusaha mencarinya, tetapi tak ketemu jua.

"Ini, Pak!" Hanya sebuah STNK disodorkan.

"SIM Anda!"

"Maaf Pak, kelupaan di barak."

"Peraturan harus tetap ditegakkan, Anda sebagai abdi negara harusnya bisa memberi contoh! Dengan sangat berat hati, Anda aku tilang!"

Dokter Meisya pun menjongkok mendengar perdebatan para abdi negara itu.

"Tunggu, Pak!"

"Ini, SIM Pak Runi," kata dr. Meisya seraya menyodorkannya ke Pak polantas.

"Kalau begitu, Anda tak jadi aku tilang, ingat Pak tetap patuhi lalu lintas, terima kasih," pungkasnya seraya menjauhi kedua insan itu.

"Kamu curi SIM-ku ya?"

"Kambuh lagi deh, makanya jangan ceroboh! Itu tadi terjatuh di dekat kakiku.

" Terima kasih capersit manisku."

Sebuah mobil melaju pelan dan berhenti tepat di samping kedua insan itu.

"Maaf, menunggu Pak."

"Tidak apa-apa."

Kurir itu pun bergegas menurunkan katering itu di trotoar dibantu oleh Meisya dan Runi.

"Mau diapakan katering ini, Kak?"

"Bantu aku ya, Dek. Semua anak jalan yang duduk di sana dibagikan ya!"

Mereka pun berpencar membagikan makanan dan minumannya; sepaket. Terlihat orang tua berbaju compang-camping, dia sudah renta menjual sayur-sayuran.

Meisya bergegas menuju lapak wanita renta itu. Dibagikan jua makanan, ia pun merogoh kantongnya dan mengagihkan rupiah.

Runi memerhatikannya dan berdecak kagum jua padanya.

"Terima kasih, Nak. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu serta memberimu jodoh yang terbaik," ucap wanita renta yang berumur senja itu.

Runi pun berjalan mengagihkan para tukang becak dan anak-anak yang wajahnya berias oli serta pengamen jalan.

Beruntung sudah sore, jika ia tadi beraksi pukul 14.00 raja siang pasti akan lebih ganas mencubiti kulitnya dan melelehkan keringat mereka.

"Kamu pasti capek."

"Iya, Kak."

"Ayo aku traktir di restoran itu."

Dokter Meisya memutar bola matanya, betapa tidak ia sangat heran melihat Runi, bahkan setelah ia mencari gaji prajurit berpangkat pratu di google tidak seberapa, lalu mengapa jua Runi memiliki banyak uang bahkan katering yang tadi lebih mahal dari gaji yang diterima.

Pikirannya semakin tak tertebak, apalagi Runi mengajaknya memanjakan perutnya di sebuah restoran mahal tepat di depan mereka membagikan katering.

"Kak, tidak usah terlalu boros, emangnya kakak gak pernah ngirimin uang untuk keluarga kakak di kampung?" Tanya Meisya penuh selidik.

Senapan Yang Penuh Keajaiban (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang