Saat hujan salju baru saja reda, sosok roh musim dingin seolah menghasutku agar keluar dari kamar, menyaksikan langit memerah bagaikan amarah Tuhan yang sedang berkobar. Orang-orang normal menyebutnya lembayung senja. Aku memang hanya senang melakukan hal seperti ini saat musim salju saja, itu pun hanya sesekali.
Namun sebelum itu, aku membeli segelas kopi ukuran regular di kedai yang dulunya sering aku kunjungi sebelum berangkat ke universitas dengan kereta. Hal yang berubah dari kedai ini hanyalah tampilan papan namanya—mereka memasang tambahan lampu neon.
Aku akan menyaksikan senja dari kedai. Aku bukan penikmat senja sejati karena ini hanya kulakukan sekali saat musim dingin tiba, setidaknya. Tapi kali ini, perasaanku mengatakan bahwa sebaiknya kubawa kopi itu bersamaku ke sebuah bangku panjang di seberang jalan yang tetap menghadap matahari yang mulai tenggelam.
Aku tidak sempat memerhatikan seseorang sudah duduk sendirian di sana. Niatku untuk beranjak pun terhenti karena orang itu menahanku. Dia seorang gadis berambut ikal mengenakan mantel tebal hitam, menggendong ransel serta memakai topi wol berwarna senada dengan syal yang menutupi sebagian mulutnya.
"Maaf, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Dia bertanya dengan suara serak seperti seorang bocah yang sebentar lagi menangis.
"Ya?"
Belum sempat dia bertanya, dugaanku menjadi kenyataan. Ia terisak sambil menggosok-gosok mata.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku ragu lalu menyentuh pundaknya.
"Aku takut pulang."
"Kenapa?"
"Aku disuruh memanggil orang tuaku ke sekolah besok untuk menemui kepala sekolah, dan..." Aku tetap menunggu ia melanjutkan. "...pasti aku akan habis dipukuli karena itu."
Kurasa mendengarkan kisah pilu orang asing di saat seperti ini sudah di luar rencana, aku tidak membutuhkannya. Sarafku mulai menegang setelah melihat senja sebentar lagi akan lenyap, tetapi gadis itu tiba-tiba berbicara lagi.
"Aku dituduh teman-temanku telah mencuri ponsel, sementara aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Mereka membenciku, aku selalu merasa sendiri di kelas. Aku selalu disebut aneh karena tidak mau bergaul, mereka akan puas jika mengerjaiku sampai aku berhenti melawan dan terdiam. Di sekolah, aku sering dipukuli, ketika tiba di rumah, orang tuaku juga ikut memukuliku. Aku selalu berharap tidak pernah dilahirkan."
Aku tertegun, tubuhku seperti ikut beku bersama ranting dan dedaunan. Aku menarik gadis itu yang duduk di ujung bangku ke sisi yang tak jauh dariku lalu mencoba menatapnya.
"Kau tidak sendirian, jangan pernah menganggap dirimu sendiri. Aku di sini, oke? Apakah kau belum pernah menceritakan ini ke siapa pun? Kepada gurumu?" Gadis itu menggeleng. Aku paham karena dia tak berdaya dan tidak punya keberanian untuk jujur kepada siapa pun sebelum aku. Kepercayaan yang dialami oleh orang seperti gadis ini perlahan akan musnah.
"Ini, kau boleh menghubungiku. Aku akan membantumu, kau boleh menceritakan semuanya, apapun itu dan tolong jangan merasa bahwa kau sendirian. Kau juga boleh datang ke alamatku, terserah." Gadis itu mengangguk pelan dan memerhatikan kartu namaku, kemudian memelukku dengan sangat erat. Entah, aku sendiri merasa memiliki sedikit energi setelah berbuat sesuatu pada gadis asing ini.
"Terima kasih, aku akan menjadi orang yang kuat."
"Tentu saja." Aku menepuk pelan pundaknya.
Setelah meninggalkan bangku itu lalu berjalan menuju rumah, seorang pria dewasa berlari menghampiriku lalu berbicara dengan terengah-engah.
"Halo, eh maaf, tadi Anda baru saja terlibat eksperimen sosial tentang bagaimana reaksi orang-orang ketika seorang siswa mengaku bahwa ia sering dibully. Sebelumnya terima kasih sudah memberikan reaksi yang positif."
"Ah, ya ..." Aku bingung luar biasa.
"Kami memasang kamera di sebelah sana," mataku mengikuti arah telunjuknya dan di sana kamera itu berada. "Bolehkah kami mengunggah reaksimu?"
"Tentu." Aku berusaha menjawab sambil memaksakan senyum.
Saat pria asing itu pergi, aku meneruskan jalanku dengan cepat dan melewati beberapa toko yang memajang sejumlah pakaian musim dingin model terbaru, namun di saat yang sama pula, perhatianku teralihkan oleh suara gaduh dari arah zebra cross. Seorang wanita paruh baya terjatuh di tengah-tengah orang lalu lalang bersama dengan sebuah tongkatnya. Selanjutnya, kuteruskan langkahku kembali sebelum dinginnya malam melahap daging dan tulangku.
***
Indonesia, 2 Februari 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Saat Senja
Short StorySaat sedang mengagumi senja dalam dekapan musim dingin seorang diri, mendadak datang sebuah kisah yang menghampiriku.