Bab 7 Rumah Meisya

20 9 1
                                    

Dokter Meisya sedang sibuk mengurus cutinya untuk beberapa hari pulang kampung. Ia sangat merindukan keluarganya.

Ketika sang fajar bersinar terang, wajah dokter Meisya tertampak mendung. Ia akan meninggalkan kota ini untuk sementara waktu. Apalagi yang menjadi beban pikirannya tak ada lagi kejailan dari Pak pratu.

Halaman yang tampak bersih, pepohonan nan rindang, rumah kayu itu berdiri kukuh.

"Meisya," sambut ibunya dengan pelukan hangat.

"Aku kangen sama ibu, ayah, dan Pari," tuturnya.

"Kami semua juga kangen, Nak," kata Bu Ani dengan mata berkaca-kaca penuh haru melihat gadis cantiknya berdiri di depannya.

"Kak, kenapa harus kerja di kampung orang, toh di sini juga ada rumah sakit," kata adiknya begitu polos.

"Di sana gaji kakak lebih banyak, Dek. Kalau adek mau beli apa-apa tinggal bilang sama kakak aja ya, o iyya kakak bawa oleh-oleh untukmu."

"Hore...." Ia pun berlari menuju ke kamarnya membuka bingkisan dari kakaknya.

"Ayah mana, Bu?"

"Belum pulang dari sawah, Nak."

Meisya pun bergegas menuju kamarnya, diletakkan pula tasnya di sebuah meja.

Ia menyandarkan raganya di sprindbed-nya. Begitu nyaman memanjakan tubuhnya usai perjalanan jauh menguras tenaganya.

Waktu makan malam telah menjemput, meskipun merasa lelah Meisya menyempatkan diri membantu ibunya memasak.

Mereka duduk untuk menyantap hidangan malam yang lezat yang diracik oleh ibu dan Meisya.

"Bagaimana kerjaanmu di tanah rantau, Nak?"

"Baik ayah, aku betah kerja di sana, semua ramah-ramah dan baik."

"Syukurilah, Nak. Harus tetap jaga kesehatan, jaga diri baik-baik, dan ingatlah Tuhan," nasihat ayah.

"Iya, Ayah."

"Bulan lalu, seorang lelaki bersama kedua orang tuanya ke sini mau melamar kamu."

"Apa? Terus ayah terima?" Tanyanya dengan nada kaget.

"Belum, Nak. Aku pikir lelaki itu baik, apalagi pekerjaannya juga menjajikan sebab dia sudah PNS. Menurut ayah, kamu harus segera menikah sebab umurmu sudah menginjak 26 tahun."

Perasaan Meisya lega seakan tali yang mengikat dadanya tadi terlepas seketika mendengar ayahnya berkata belum.

"Aku masih mau sendiri ayah, jika sampai waktunya aku pun juga akan menikah, bukan saat ini."

"Baiklah, Nak. Ada pepatah mengatakan lebih baik hari ini daripada besok."

"Aku janji akan menjaga diri baik-baik ayah."

Ibu Ani seorang ibu rumah tangga, berambut pendek sebahu, putih, berhidung mancung, bibir tipis, sangat menyayangi Meisya.

Ayah Lahi seorang petani memiliki sawah berhektar-hektar di kampungnya. Setiap panen mereka meraup untung yang banyak.

Tiga hari di kampung halaman, Meisya dan Pari pergi olahraga ke lapangan. Mereka saling cekikikan. Tertawa lepas.

Meisya sangat senang melihat adiknya bermain bola, ia tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit, senyumnya pun juga merias indah menambah kecantikannya.

"Kak, ayo sini main bola!" Ajak Pari kepada Meisya.

"Kakak capek, kamu aja yang main!"

Mereka pun segera pulang, di tengah perjalanan ia melihat seorang nenek sedang sakit di papah masuk.

Senapan Yang Penuh Keajaiban (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang