Tek tek tek tek tek!
Gumpalan awan hitam berarak cepat menyelimuti langit dan bertahap menutupi sisa-sisa berkas cahaya. Di kejauhan, sosok raksasa mengaum-ngaum hingga tanah yang kupijak bergetar. Soul yang semula sejuk, penuh pepohonan rindang, bunga-bunga indah yang bermekaran, dan langit biru yang cerah, diporak-porandakan olehnya, sumber semua masalah, Dark of Soul.
Dark tertawa keras begitu melihatku berjalan ke arahnya. Gumpalan awan hitam miliknya berapi-api mengelilingi dan melesat ke arahku. Menerkam selama beberapa saat sebelum suara mendesis terdengar dan awan hitam itu menghilang.
"K-kau..." Dark terkejut.
Tentu. Pastinya entitas gelap itu tak pernah menyangka serangannya tidak mempan. Aku tersenyum. Tangan kananku meraih pedang yang tersarung di punggung dan mengayunkannya perlahan ke depan. Cahaya lembut berkilat-kilat di sepanjang logam tajam pedang keberanian.
"Majulah," tantangku.
"Kurang ajar kau, Light!" Dark menggeram. Tubuhnya kian membesar dan gumpalan hitam yang meliputinya makin berkobar-kobar.
Kedua tangan raksasa Dark merentang hendak mencengkeram tubuhku. Aku menyambutnya, memajukan satu kaki ke depan, pedang keberanian kuayun ringan seiring mendekatnya serangan Dark. Suara desis terdengar diikuti menghilangnya tangan raksasa. Aku melangkah mendekati sosok yang di balik gumpalan besar awan hitam tampak serupa sekaligus berbeda dengan wujudku.
Dark of Soul, dahulu dia tidak sebesar sekarang dan tanpa awan hitam yang menghancurkan. Aku masih ingat dahulu ketika Soul kaya oleh limpahan cahaya, Dark hanya sekecil benih yang tak berdaya dan mudah dikendalikan di atas telapak tanganku.
Kuangkat tinggi pedang keberanian. Soul makin mendekati kehancuran dan tubuh Dark menjadi berkali lipat lebih besar dariku. Semua itu berkat kesalahan yang berulang kali aku lakukan.
***
Layaknya lava yang dilontarkan dari kedalaman perut bumi, kemarahan meletus dan menguasai diriku. Aku tidak bisa menerima ini! Kenapa semua seranganku gagal? Selama ini tak ada cahaya yang bisa melawan awan gelapku, tapi mengapa cahaya redup dari pedang kecil itu sanggup?
"Light! Kenapa kau tidak hancur saja? Kenapa kau harus kembali?"
Berkat aku, Light of Soul melemah! Aku menjadi jauh lebih kuat, jauh lebih berkuasa, dan jauh lebih unggul darinya. Light perlahan-lahan memudar hingga tak berwujud dan semenjak itu Soul adalah milikku.
Tubuh kecil Light berdiri kokoh sambil mengangkat pedang. Kepalanya menengadah, tatapan tenang yang arahkan padaku membawa kedalaman yang membuatku merasa telah hancur dan tenggelam begitu dalam oleh rasa takut.
"Selama aku masih ada, tak akan kubiarkan kau menguasai Soul," ucap Light tanpa secuil kegentaran dalam suaranya.
"Kau tidak akan bisa melakukannya!" bantahku.
Ya, benar, Light tidak bisa melawanku. Aku dulu memang hanya sebesar benih biji, tapi berkat tipuanku, berpura-pura jadi baik, aku membisikinya agar melimpahkan awan hitam alih-alih cahaya. Kukatakan padanya kalau awan hitam adalah sumber kehidupan yang baik sekaligus nikmat. Kalau dia menolak, kubujuk dia melihat rupa awan hitam sekali, lalu berikutnya di lain waktu, begitu seterusnya hingga dia terbiasa. Hingga Soul dipenuhi awan hitam. Hingga akhirnya awan hitam itu memblokir cahaya masuk. Sejak saat itu, awan hitamku makin berlipat dan terus berlipat.
Light tidak akan bisa melawanku. Kegelapan awanku telah menguasai Soul. Secuil sinar lemah dari pedangnya tak akan mampu menandingiku.
"Aku lebih kuat dari kau, Light! Menyerahlah!"
Light tetap diam, tidak menghiraukan, lalu tiba-tiba dia berlari, melompat tinggi, dan mengayunkan pedang ke atas. Matanya penuh tekad untuk menghancurkanku. Aku sontak mundur ke belakang. Memanggil semua awanku berkumpul dan membentuk perisai. Tetapi, justru di situlah letak kecerobohanku.
Saat silau cahaya menusuk dan menelanku dari segala arah, mataku sempat menangkap sosok Light tersenyum lemah, berkata padaku, "Aku kini lebih mengenal diriku, karena itulah aku menang."
***
"Ruhi, jangan ngelamun!" Bapak menegur, melambaikan telapak tangan kasar di depan wajahku.
Aku mengedipkan mata dan tersenyum nyengir. Bapak berjalan pergi sambil menggelengkan kepala setelah melihat tindakanku. Helaan napas lantas menyembur dari mulutku. Mataku menengok sekilas ke arah jam. Sekarang rupanya pukul delapan. Tiga puluh menit sebelum presentasi daring dimulai.
Jantungku berdebar kencang. Rasa cemas dan gugup mulai mengaliri sekujur tubuhku. Aku memejamkan mata, menegakkan punggung, lalu menarik napas dalam-dalam.
Kubuka perlahan mata, tatapanku mula-mula jatuh pada laptop yang tengah menampilkan slide Power Point, ponselku tergeletak di samping kiri, di sebelah kanan terdapat lembaran kertas HVS berhias coretan hasil berhari-hari renunganku selama mempersiapkan materi presentasi. Tak jauh dari lembaran itu, ada botol tupperware berisi penuh air. Tanganku reflek meraihnya. Rasanya tenggorokanku rindu disiram dinginnya air, dan perutku yang penuh zat asam seakan memintaku menuangkan air untuk menetralkannya. Aku lantas menenggak, tidak terlalu banyak atau sedikit. Cukup untuk meredakan rasa mual, menenangkan diri, sekaligus cukup agar tidak membuatku ke kamar mandi ketika presentasi nanti.
Aku menengok ke arah dapur. Di atas talenan di meja dekat Bapak, terdapat pisau dan sisa-sisa potongan sayur. Bunyi mendesis terdengar sewaktu Bapak mengaduk masakan dalam wajan di atas kompor berapi besar.
Inside the Soul
by Archerysine754 words
(WP/LibreOffice)Sep 30, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Inside the Soul [END]
ActionApa yang ada di dalam Soul seseorang? Jawabannya: tergantung apa yang dia masukkan ke dalamnya. Berikut adalah cerita pendek tentang Soul milik Ruhi yang dihadirkan dalam event "September RAWS Ceritain Aja".