Bab 17

15.6K 1.7K 62
                                    

Hai... Selamat Malam. Sudah pada tidur ya. Sebetulnya tadi pulang kerja udah capek sampai rumah sudah malam. Tapi karena ternyata ada yang menunggu cerita ini jadi aku berusaha menulisnya meskipun sudah terlalu malam. Selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen ya....

"Jadi ...." Ayah diam sesaat, menjeda kalimatnya, membuat kami dari keluarga Surya Samudra  terlihat tegang semua terutama Mas Krisna. Aku? Sangat tegang. Mungkin lebih ke takut sebetulnya. Takut Mas Krisna ngomong ngawur yang menyangkutpautkan keberadaanku dengan keputusannya nanti. Aku hanya berdoa semoga dia diberi otak waras saat-saat seperti ini. 

Aku, si pengecut yang selalu berusaha hidup damai dan selalu berusaha menghindari konflik. Menurutku, aku bukanlah pejuang cinta yang layak untuk diperjuangkan. Aku bukan siapa-siapa yang layak dijadikan alasan seorang anak untuk melawan orang tuanya. Tidak. Tidak. Sebesar apapun cintaku pada seorang laki-laki, aku tetap akan pergi kalau ibu laki-laki tersebut menyuruhku pergi. 

Jadi, plisss Mas Krisna, jangan hiraukan aku. Jangan melihat Er sebagai tanggung jawabmu. Er milikku dan sampai kapanpun aku akan bertanggung jawab membahagiakan dia. Tanpamu sekalipun. Aku komat kamit sendiri mengharapkan dijauhkan dari masalah yang akan melibatkanku.

"Maksud kedatangan kami sekeluarga ke sini utamanya adalah untuk silaturahmi, Ibu. Kaitannya dengan anak kami Krisna dan Sita yang sudah akrab sejak mereka kuliah di Amerika kami berharap akan ada kelanjutannya ke hubungan yang lebih serius. Namun, kami sebagai orang tua tetap menyerahkan keputusan kepada mereka berdua. Kami selaku orang tua merestui dan mendukung apapun keputusan mereka berdua." Papa menyampaikan maksud kedatangan kami semua dengan bijak dan suara yang lantang. 

Meskipun dalam kalimatnya, Papa tidak memojokkan Mas Krisna tetapi aku yakin baginya apa yang disampaikan Papa semakin menggiring dia ke dalam jurang kepastian yang tidak inginkannya. Semua mata tertuju ke arahnya. Suasana semakin tegang saja. Entah apa yang dirasakan Er, tiba-tiba dia beringsut turun dari pangkuan Mas Krisna dan berlari ke arahku.

"Bunda, aku takut. Ayah dimalahi lagi ya?" tanyanya pelan. 

Aku merasakan ketakutan dan kesedihan dalam suaranya. Aku dekap Er dengan sepenuh hati. Berusaha memberikan perlindungan dan rasa nyaman. Mungkin memang sudah saatnya Er diberi pengertian bahwa Mas Krisna bukanlah ayah yang akan selalu ada untuknya. Bahwa dunia Mas Krisna bukan hanya semata-mata tentang Er. Bagaimanapun hanya aku satu-satunya  yang menyayangi dia tanpa alasan. Aku satu-satunya orang yang menyayanginya melebihi nyawaku sendiri. Aku kecup kepalanya. Wangi shampo bayi menguar memberikan rasa nyaman untukku. Aku tersenyum. 

"Enggak sayang. Mereka sedang ngobrol biasa," jawabku lirih di telinganya. Er semakin erat memelukku. Entahlah apa yang kurasakan sekarang. Semua berkecamuk didalam hatiku. Er, jangan pernah engkau mengharapkan apapun dari orang lain kecuali bundamu ini. Hanya bundamu ini, ya.  Kalau kamu tidak mau kecewa maka bersandarlah hanya pada bundamu ini.  

"Sebetulnya saya dan Sita belum pernah sekalipun membicarakan hal-hal yang menjurus ke arah hubungan serius seperti yang diharapkan baik papa mama saya maupun papa mama Sita, Nek. Selama ini kami memang akrab karena memang di Amerika mahasiswa dari Indonesia sangat sedikit. 

Bahkan di Universitas kami untuk program master dan Phd dari  departemen arsitektur  hanya kami berdua yang berasal dari Indonesia. Selain itu ternyata Mama Sita adalah sahabat Mama saya sehingga saya merasa menemukan saudara di perantauan. Jadi, terus terang saya belum mempunyai rencana apapun terkait hubungan kami ini selain sebagai seorang sahabat, teman atau bahkan saya sudah menganggap Sita sebagai adik. Begitu kan Sita?"

Entahlah, mendengar penjelasan Mas Krisna hatiku merasa tenang. Dan aku bersyukur Mas Krisna bisa menyampaikan pendapatnya dengan netral tanpa menjatuhkan siapapun. Dia tidak mengiyakan tetapi juga tidak secara frontal melawan keinginan Mama dan Papa. Begitu juga masih terasa sopan menjawab semua tanya dari neneknya Sita. Dan yang jelas tidak menyinggung sama sekali tentang perasaannya pada wanita lain, atau padaku?

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang